Berita Gorontalo

Warga Gorontalo Mulai tak Minat Pakaian Cabo Gara-gara Lebih Mahal dari Harga Baru

Salah satu faktor utama yang dikeluhkan masyarakat adalah harga pakaian bekas yang kini lebih mahal dibandingkan pakaian baru di toko.

|
Penulis: Jefry Potabuga | Editor: Wawan Akuba
Getty
Sebuah toko cabo atau kerennya disebut toko Thrift di Gorontalo, Sabtu (23/11/2024). 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Tren pakaian cabo atau pakaian bekas yang pernah populer di Gorontalo mulai kehilangan daya tariknya.

Salah satu faktor utama yang dikeluhkan masyarakat adalah harga pakaian bekas yang kini lebih mahal dibandingkan pakaian baru di toko.

Fakta ini diungkapkan oleh sejumlah warga dan pelaku usaha di Gorontalo.

Menurut mereka, kenaikan harga yang signifikan membuat pakaian bekas tidak lagi menjadi pilihan utama bagi konsumen, terutama yang memiliki anggaran terbatas.

Sarton Kiki, salah seorang konsumen yang dulunya gemar berburu pakaian cabo, mengaku kini mulai jarang membeli barang bekas tersebut.

Ia merasa harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan kualitas barang yang didapat.

"Kalau dulu harga pakaian bekas masih masuk akal, sekitar Rp30 ribu sampai Rp50 ribu. Sekarang malah ada yang dijual Rp100 ribu lebih. Padahal, dengan uang segitu, saya sudah bisa beli pakaian baru di toko," ujar Sarton, Sabtu (23/11/2024).

Senada dengan itu, Steven Giu, penggemar barang thrifting, mengaku kecewa dengan kondisi saat ini.

Menurutnya, daya tarik utama pakaian cabo adalah harganya yang murah.

Namun, dengan harga yang semakin mahal, alasan untuk membelinya semakin hilang.

"Dulu saya suka karena bisa dapat barang branded dengan harga murah. Tapi sekarang harganya lebih mahal dari barang baru, jadi rasanya nggak sepadan," keluh Steven.

Moh. Zulfadin Napu (30), seorang pedagang pakaian cabo di Gorontalo, mengakui bahwa minat masyarakat terhadap barang dagangannya mulai menurun.

Ia menyebutkan bahwa penyebab utamanya adalah kenaikan harga akibat pembatasan impor barang bekas oleh pemerintah.

"Setelah pembatasan impor, stok barang berkualitas jadi susah didapat. Barang yang ada harganya jadi naik, dan ini membuat konsumen enggan membeli," ujar Zulfadin.

Meski begitu, Zulfadin menuturkan bahwa ia mencoba bertahan dengan berinovasi, seperti menjual barang melalui platform online dan menawarkan sistem pre-order (PO).

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved