Berita Nasional

Vonis Korupsi Dirut ASDP Tak Bulat, Hakim Sunoto Justru Anggap Bukan Korupsi

Vonis terhadap eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan dua pejabat lain terkait kasus Kerja Sama Usaha

Editor: Wawan Akuba
KOMPAS.COM
KASUS ASDP - Kasus korupsi ASDP bermula dari akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP periode 2019–2022, yang dianggap merugikan negara karena pembelian kapal tua dan tidak layak. 

Keputusan bisnis tersebut belakangan dianggap merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Pada Februari 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga pejabat ASDP sebagai tersangka dan menahan mereka.

Mereka adalah mantan Direktur Utama Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono. 

Jaksa Penuntut Umum mendakwa ketiganya menyalahgunakan kewenangan sehingga memberi keuntungan besar kepada PT JN dan pemiliknya, Adjie, sementara negara menanggung kerugian.

Persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat berlangsung sepanjang tahun.

Jaksa menekankan bahwa meski para terdakwa tidak menerima keuntungan pribadi, tindakan mereka tetap memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.

Mayoritas hakim sependapat, dan pada 20 November 2025 menjatuhkan vonis bersalah. 

Ira dihukum 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta, sedangkan Yusuf dan Harry masing-masing divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp250 juta.

Namun putusan itu tidak bulat. Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion yang berbeda tajam.

Ia menilai keputusan akuisisi dan kerja sama usaha adalah bagian dari strategi bisnis yang sah, bukan tindak pidana.

Menurutnya, tindakan para terdakwa dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule (BJR), yang memberi ruang bagi direksi untuk mengambil keputusan bisnis dengan iktikad baik dan kehati-hatian, meski hasilnya tidak selalu optimal.

Sunoto menekankan tidak ada niat jahat atau mens rea untuk merugikan negara, sehingga seharusnya para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum.

Dissenting opinion ini menimbulkan perdebatan lebih luas. Di satu sisi, ada pandangan bahwa keputusan bisnis yang merugikan negara tetap bisa dikategorikan sebagai korupsi.

Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kriminalisasi atas keputusan bisnis akan membuat para profesional enggan memimpin BUMN, karena setiap risiko bisnis bisa berujung pidana.

(*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved