Berita Nasional
Vonis Korupsi Dirut ASDP Tak Bulat, Hakim Sunoto Justru Anggap Bukan Korupsi
Vonis terhadap eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan dua pejabat lain terkait kasus Kerja Sama Usaha
TRIBUNGORONTALO.COM – Vonis terhadap eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan dua pejabat lain terkait kasus Kerja Sama Usaha (KSU) serta akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) tahun 2019–2022 ternyata tidak bulat.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta kepada Ira, serta 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta kepada Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono.
Hakim mayoritas menilai perbuatan mereka memberi keuntungan luar biasa kepada PT JN dan pemiliknya, sehingga memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor.
Baca juga: UPDATE GEMPA BUMI Pagi ini di Pesisir Jawa Sabtu Pagi 22 November 2025
Namun Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion yang berbeda tajam. Ia menilai tidak ada tindak pidana korupsi dalam perkara ini.
“Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” tegas Sunoto, Kamis (20/11).
Business Judgement Rule
Menurut Sunoto, keputusan KSU dan akuisisi PT JN adalah bagian dari strategi bisnis yang sah.
Ia menekankan bahwa tindakan Ira dkk dilindungi oleh Business Judgement Rule (BJR), sebuah prinsip hukum yang melindungi direksi ketika mengambil keputusan bisnis dengan iktikad baik dan kehati-hatian.
Sunoto menilai tidak ada niat jahat (mens rea) untuk merugikan negara.
Justru, kriminalisasi atas keputusan bisnis berisiko membuat para profesional enggan memimpin BUMN.
“Direktur akan menjadi sangat takut untuk mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko… profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN,” ujarnya.
Perdebatan Hukum
Perbedaan pendapat ini menyoroti dilema klasik antara akuntabilitas keuangan negara dan ruang gerak manajemen BUMN.
Mayoritas hakim menekankan kerugian negara akibat keuntungan besar yang mengalir ke PT JN, sementara Sunoto menekankan perlindungan hukum bagi keputusan bisnis yang tidak terbukti dilakukan dengan niat jahat.
Kronologi Kasus
Kasus dugaan korupsi di tubuh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) bermula dari keputusan manajemen melakukan kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) pada periode 2019–2022.
Dalam proses itu, ASDP membeli sejumlah kapal milik PT JN yang kemudian dinilai sudah tua, tidak layak, bahkan ada yang karam.
Keputusan bisnis tersebut belakangan dianggap merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Pada Februari 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga pejabat ASDP sebagai tersangka dan menahan mereka.
Mereka adalah mantan Direktur Utama Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa ketiganya menyalahgunakan kewenangan sehingga memberi keuntungan besar kepada PT JN dan pemiliknya, Adjie, sementara negara menanggung kerugian.
Persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat berlangsung sepanjang tahun.
Jaksa menekankan bahwa meski para terdakwa tidak menerima keuntungan pribadi, tindakan mereka tetap memenuhi unsur Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara.
Mayoritas hakim sependapat, dan pada 20 November 2025 menjatuhkan vonis bersalah.
Ira dihukum 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta, sedangkan Yusuf dan Harry masing-masing divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp250 juta.
Namun putusan itu tidak bulat. Ketua Majelis Hakim, Sunoto, menyampaikan dissenting opinion yang berbeda tajam.
Ia menilai keputusan akuisisi dan kerja sama usaha adalah bagian dari strategi bisnis yang sah, bukan tindak pidana.
Menurutnya, tindakan para terdakwa dilindungi oleh prinsip Business Judgement Rule (BJR), yang memberi ruang bagi direksi untuk mengambil keputusan bisnis dengan iktikad baik dan kehati-hatian, meski hasilnya tidak selalu optimal.
Sunoto menekankan tidak ada niat jahat atau mens rea untuk merugikan negara, sehingga seharusnya para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum.
Dissenting opinion ini menimbulkan perdebatan lebih luas. Di satu sisi, ada pandangan bahwa keputusan bisnis yang merugikan negara tetap bisa dikategorikan sebagai korupsi.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kriminalisasi atas keputusan bisnis akan membuat para profesional enggan memimpin BUMN, karena setiap risiko bisnis bisa berujung pidana.
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gorontalo/foto/bank/originals/KASUS-ASDP-Kasus-merugikan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.