Buruh Gorontalo
YLBHI Menilai UU Cipta Kerja Justru Menyengsarakan Buruh Gorontalo
Sepanjang tahun 2022, YLBHI dan 18 LBH Kantor menerima 270 pengaduan yang diadukan oleh 2.584 pencari keadilan dan melakukan pendampingan terhadap 62
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai hadirnya UU Cipta Kerja justru menyengsarakan buruh.
Sepanjang tahun 2022, YLBHI dan 18 LBH Kantor menerima 270 pengaduan yang diadukan oleh 2.584 pencari keadilan dan melakukan pendampingan terhadap 62 kasus yang tersebar di 18 wilayah.
Pengaduan tersebut didasari beberapa konflik perburuhan di antaranya pemutusan hubungan kerja, perselisihan hak, kriminalisasi serta union busting dan perselisihan hubungan industrial lainnya.
Aktor yang diadukan dari jumlah pengaduan tersebut di antaranya korporasi lokal dan nasional sebanyak 227 kasus, individu maupun kelompok swasta yang memiliki pengaruh serta kekuasaan di tempat kerja sebanyak 22 kasus, pejabat pemerintah lokal sebanyak 14 kasus, individu maupun kelompok swasta yang memiliki pengaruh serta kekuasaan di sebuah sekolah sebanyak 8 kasus dan pejabat pada tingkat nasional sebanyak 6 kasus.
Adapun pelanggaran hak tertinggi yang diadukan di antaranya hak untuk bekerja (24 pelanggaran), hak khusus bagi pekerja (23 pelanggaran), hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil sebanyak (14 pelanggaran), hak untuk mendapatkan upah yang adil (13 pelanggaran), hak standar hidup yang layak (12 pelanggaran), hak untuk mendapatkan pemberitahuan lebih awal tentang PHK (10 pelanggaran) dan hak untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai (10 pelanggaran).
“Secara garis besar, kami menilai pola penindasan terhadap buruh tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya,” tulis YLBHI dalam rilis resminya yang dikutip TribunGorontalo.com, Senin (1/5/2023).
YLBHI memproyeksikan kondisi ini akan diperparah dengan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan memuat beberapa pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek, fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini dalam beberapa hal diantaranya:
Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.
UU Cipta kerja juga mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol, serta memutihkan dosa dengan hilangnya peraturan akan beralih menjadi pada perusahaan user jika melanggar.
Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada buruh, sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.
Kedua, UU Cipta kerja melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja, yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan di lain sisi perusahaan dapat mengurangi hak istirahat buruh.
Hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
Selain itu, aturan ini tidak memiliki aturan pasal tentang jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja, sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi Pengusaha untuk menjadikan Buruh sebagai pekerja kontrak seumur hidup.
Ketiga, UU Cipta Kerja melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh Pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah.
Selain ketiga hal tersebut, jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri dengan hadirnya Pasal 273 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi.
Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh.
Kedua perangkat aturan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk nyata Pemerintah dan DPR menghamba kepada oligarki dan tidak berpihak pada Buruh/Pekerja yang dilakukan dengan cara-cara tidak partisipatif dan tergesa-gesa.
Ketidakberpihakan tersebut juga terlihat lambatnya proses legislasi RUU PRT yang telah diusulkan oleh berbagai pihak 19 tahun lamanya.
Ketidakberpihakan Pemerintah dan DPR yang melahirkan perangkat perundang-undangan sebagaimana disebutkan mengkhianati amanah reformasi sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor 16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang mewajibkan negara menempatkan Buruh sebagai subjek utama dalam membangun demokrasi ekonomi.
Karena itu, dalam peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2023 YLBHI:
1. Mendesak Presiden dan DPR untuk membatalkan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia;
2. Mendesak Pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU PRT;
3. Mendesak Pemerintah dan DPR menjalankan amanah reformasi salah satunya demokrasi ekonomi dengan melakukan audit, mengubah dan menyesuaikan seluruh aturan perundang-undangan yang bertentangan prinsip demokrasi ekonomi.
(*)
Fakta-fakta Aksi Demo Federasi Serikat Buruh di Rudis Gubernur Gorontalo, Bawa 7 Tuntutan |
![]() |
---|
BREAKING NEWS: Serikat Pekerja Buruh Demo di Rujab Gubernur Gorontalo, Bawa 7 Tuntutan |
![]() |
---|
UMP Gorontalo Tertinggi ke-14 di Indonesia, Kalahkan Provinsi di Jawa hingga Sumatera |
![]() |
---|
Hotel Citimall Gorontalo Digeruduk Buruh Gara-gara Pecat Karyawan |
![]() |
---|
HIPMI Minta Pengusaha tak Abaikan Upah dan THR Buruh Gorontalo, Chiko Uno: Ada Sanksinya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.