Berita Internasional

Sedikitnya 24 Tewas dan 47 Luka dalam Serangan Udara Militer Myanmar saat Warga Gelar Aksi Damai

Sedikitnya 24 orang tewas dan 47 lainnya luka-luka setelah militer Myanmar menjatuhkan dua bom ke arah massa yang tengah melakukan aksi

Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com
Penduduk di distrik Monywa, Myanmar tengah, merayakan festival tahunan Thadingyut pada tahun 2024 

TRIBUNGORONTALO.COM — Sedikitnya 24 orang tewas dan 47 lainnya luka-luka setelah militer Myanmar menjatuhkan dua bom ke arah massa yang tengah melakukan aksi protes terhadap pemerintahan junta militer.

Serangan mematikan itu terjadi ketika sebuah paramotor milik tentara menjatuhkan bahan peledak ke tengah kerumunan di wilayah Chaung U, Myanmar Tengah, pada Senin (6/10/2025) malam.

Seorang juru bicara pemerintahan bayangan Myanmar yang kini beroperasi di pengasingan mengatakan kepada BBC Burmese bahwa aksi tersebut merupakan salah satu serangan udara paling brutal terhadap warga sipil dalam beberapa bulan terakhir.

Sekitar 100 orang saat itu berkumpul untuk memperingati hari libur nasional, sebelum serangan udara mendadak melanda mereka.

Serangan di Tengah Perang Saudara yang Berkepanjangan

Sejak kudeta militer pada 2021, Myanmar terjerumus dalam perang saudara yang menewaskan ribuan orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi.

Kudeta yang menggulingkan pemerintahan demokratis Aung San Suu Kyi itu memicu perlawanan besar-besaran dari kelompok bersenjata rakyat dan milisi etnis di berbagai wilayah.

Meski sempat kehilangan kendali atas lebih dari separuh wilayah negara, militer kini kembali melancarkan serangan besar-besaran, terutama lewat gelombang serangan udara dan pengeboman intensif.

Serangan di Chaung U terjadi di wilayah Sagaing, salah satu pusat perlawanan rakyat yang dikuasai kelompok milisi lokal bernama People’s Defence Force (PDF).

“Hanya Tujuh Menit”

Seorang pejabat PDF lokal mengungkapkan kepada BBC Burmese bahwa pihaknya telah menerima informasi tentang potensi serangan udara beberapa jam sebelum acara dimulai.

Mereka berusaha membubarkan massa secepat mungkin, namun paramotor militer tiba lebih cepat dari perkiraan.

“Semuanya terjadi hanya dalam tujuh menit,” ujarnya. “Kaki saya terkena serpihan ledakan, tapi beberapa orang di dekat saya langsung tewas di tempat.”

Penduduk setempat menggambarkan situasi setelah ledakan sebagai mengerikan dan penuh kepanikan.

“Tubuh anak-anak benar-benar hancur,” ujar seorang perempuan yang turut membantu penyelenggaraan acara kepada kantor berita AFP.

Ia tidak berada di lokasi saat serangan terjadi, namun menghadiri pemakaman korban keesokan harinya.

“Kami masih mengumpulkan potongan tubuh hingga hari ini,” tambahnya lirih.

Dalam pernyataannya pada Selasa (7/10/2025), Amnesty International menyoroti penggunaan paramotor bermesin untuk menyerang warga sipil sebagai bagian dari “tren mengganggu” yang sedang dilakukan junta militer.

BBC Burmese sebelumnya juga melaporkan bahwa junta semakin sering menggunakan paramotor karena kekurangan pesawat tempur dan helikopter akibat sanksi internasional yang membatasi pasokan peralatan militer.

Namun, analis menilai junta masih memiliki keunggulan berkat dukungan teknologi militer canggih dari China dan Rusia, termasuk penggunaan drone tempur yang semakin masif.

Joe Freeman, peneliti Amnesty untuk Myanmar, menyebut serangan itu sebagai “peringatan mengerikan” bagi dunia internasional.

“Ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa warga sipil di Myanmar sangat membutuhkan perlindungan segera,” ujarnya.

Ia juga mendesak ASEAN, yang akan menggelar pertemuan tingkat tinggi akhir bulan ini, untuk meningkatkan tekanan terhadap junta dan meninjau kembali pendekatan yang selama hampir lima tahun “gagal melindungi rakyat Myanmar”.

Aksi pada Senin malam itu sejatinya merupakan vigil lilin damai untuk menolak wajib militer yang diberlakukan junta dan menuntut pembebasan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin terpilih secara demokratis yang digulingkan dan kini dipenjara.

Myanmar dijadwalkan menggelar pemilu umum pada Desember mendatang, yang disebut sebagai pemilihan pertama sejak kudeta 2021.

Namun berbagai pihak menilai pemilu tersebut tidak akan bebas dan adil, karena banyak partai oposisi telah dibubarkan, dan pemungutan suara hanya akan digelar di wilayah yang masih dikuasai militer, sekitar separuh wilayah negara.

Serangan udara di Chaung U kini menjadi simbol baru kekerasan rezim yang terus menindas warganya, di tengah dunia yang semakin kehilangan harapan akan berakhirnya penderitaan rakyat Myanmar. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved