Tumbilotohe Gorontalo
Dari Lampu Minyak ke LED, Apakah Tumbilotohe Kehilangan Jiwanya?
Masyarakat dan pemerintah daerah diharapkan dapat berperan aktif dalam melestarikan Tumbilotohe sebagai warisan budaya yang tetap relevan tanpa kehila
Penulis: Herjianto Tangahu | Editor: Wawan Akuba
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Tradisi Tumbilotohe, ritual khas masyarakat Gorontalo yang berlangsung pada tiga malam terakhir Ramadan, kini mengalami perubahan signifikan.
Awalnya, tradisi ini dilakukan dengan menyalakan lampu minyak sebagai simbol penerangan menuju Idul Fitri.
Namun, modernisasi telah membawa pergeseran dalam bentuk, makna, dan praktiknya.
Sejarawan Gorontalo, Joni Apriyanto, menjelaskan bahwa Tumbilotohe dulunya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan makna spiritual yang mendalam.
Baca juga: Semarak Malam Tumbilotohe di Kota Gorontalo, Kelurahan Dembe Jaya Pertahankan Nuansa Tradisional
Masyarakat menggunakan lampu minyak tradisional yang disebut tetu’o, dengan bahan bakar dari minyak kelapa atau minyak jarak yang diolah sendiri.
Lampu-lampu ini dipasang di halaman rumah, masjid, dan jalan utama, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh kebersamaan.
"Tumbilotohe bukan sekadar penerangan fisik, tetapi juga simbol pencerahan spiritual. Malam-malam terakhir Ramadan diyakini sebagai waktu mustajab untuk berdoa dan beramal," ungkap Joni, Kamis (27/3/2025).
Namun, seiring perkembangan zaman, Tumbilotohe mengalami pergeseran nilai.
Lampu minyak mulai tergantikan oleh lampu listrik, LED, dan dekorasi bercahaya dalam berbagai bentuk.
Beberapa daerah bahkan menjadikan tradisi ini sebagai daya tarik wisata, dengan festival cahaya dan lomba dekorasi yang menarik banyak pengunjung.
"Sayangnya, perubahan ini juga membawa konsekuensi. Konsumsi listrik meningkat, sementara makna asli Tumbilotohe sebagai momen spiritual dan kebersamaan semakin luntur," tambah Joni.
Baca juga: Unik! Alikusu Tumbilotohe Gorontalo Menyala di Dasar Laut Kawasan Hiu Paus Botubarani
Modernisasi memang menghadirkan inovasi dan kemeriahan yang lebih besar, tetapi juga berisiko mengikis esensi tradisi ini.
Jika tidak ada upaya pelestarian, generasi mendatang mungkin hanya mengenal Tumbilotohe sebagai festival cahaya tanpa memahami nilai spiritualnya.
Selain itu, dampak lingkungan juga menjadi perhatian. Penggunaan listrik yang berlebihan untuk dekorasi dapat meningkatkan konsumsi energi.
Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara pelestarian budaya, pemanfaatan teknologi, dan kesadaran lingkungan.
Baca juga: Festival Green Tumbilotohe 2025 di Kota Gorontalo Meriah, Ribuan Warga Padati Lokasi
"Tumbilotohe telah mengalami perubahan signifikan dari masa ke masa. Meski modernisasi membawa nuansa baru, kita harus tetap menjaga esensi dan nilai-nilai spiritual di dalamnya," pungkas Joni.
Masyarakat dan pemerintah daerah diharapkan dapat berperan aktif dalam melestarikan Tumbilotohe sebagai warisan budaya yang tetap relevan tanpa kehilangan makna aslinya.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gorontalo/foto/bank/originals/TUMBILOTOHE-Tumbilotohe-di-Masjid-Jami-Baitul-Karim-Kelurahan-Dembe-Jaya.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.