Internasional

Israel Tetap Gempur Hezbollah, Abaikan Usaha Gencatan Senjata dari AS

Langkah ini menantang upaya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang mencoba mencapai gencatan senjata untuk meredakan risiko perang regional yang le

Penulis: Redaksi | Editor: Wawan Akuba
Getty
Sebuah rudal permukaan-ke-permukaan yang diluncurkan dari Yaman menuju Israel dicegat oleh sistem Arrow Israel di luar wilayah Israel menurut militer Israel, seperti yang terlihat dari Ashkelon, Israel, pada hari Jumat. (Foto: Reuters) 

TRIBUNGORONTALO.COM -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menegaskan bahwa militer Israel akan terus menggempur target Hezbollah di Lebanon tanpa batas waktu.

Langkah ini menantang upaya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang mencoba mencapai gencatan senjata untuk meredakan risiko perang regional yang lebih luas.

Netanyahu, yang tiba di New York pada Kamis untuk menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan serangan udara akan berlanjut hingga semua tujuan Israel tercapai.

Salah satu tujuan utama adalah memulangkan warga Israel di wilayah utara, yang menurut Netanyahu, hanya mungkin terjadi jika Hezbollah berhenti menembakkan misil lintas batas.

"Tidak akan ada gencatan senjata," ujar Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, di platform media sosial X (sebelumnya Twitter). Menteri Pertahanan Yoav Gallant juga menegaskan bahwa tujuan militer adalah terus mengguncang Hezbollah dan memperdalam kerugian mereka.

Pernyataan dari para pejabat tinggi Israel ini tampaknya menolak upaya yang dipimpin oleh Presiden AS Joe Biden dan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mencapai gencatan senjata selama tiga minggu.

Negara-negara Eropa, kekuatan Arab seperti Arab Saudi dan Qatar, juga mendesak adanya jeda pertempuran setelah Israel mengindikasikan sedang bersiap untuk kemungkinan invasi darat ke Lebanon, yang dapat memicu konflik regional yang lebih luas dan melibatkan AS serta Iran.

Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, dalam pernyataannya di London pada Kamis, memperingatkan bahwa perang skala penuh lainnya akan menjadi bencana bagi Israel dan Lebanon.

"Solusi diplomatik, bukan militer, adalah satu-satunya cara untuk memastikan warga sipil yang terlantar di kedua sisi perbatasan bisa kembali ke rumah mereka," kata Austin.

Israel dan Hezbollah telah saling menyerang dengan roket sejak dimulainya perang di Gaza hampir setahun yang lalu. Hezbollah, kelompok militan yang didukung Iran, telah lama berkomitmen untuk melanjutkan serangan selama Israel terus menyerang Hamas.

Meskipun kedua kelompok didukung oleh Iran, Hezbollah dianggap jauh lebih kuat dan keduanya telah dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh AS.

Serangan Israel di Lebanon memasuki hari keempat, dengan lebih dari 600 orang tewas, termasuk setidaknya 50 anak-anak.

Ribuan warga Lebanon telah melarikan diri dari wilayah selatan negara itu, sementara serangan udara Israel menghantam wilayah sekitar Beirut.

Hezbollah merespons dengan menembakkan ratusan roket ke Israel utara, termasuk upaya pertama mereka untuk menargetkan Tel Aviv, dalam eskalasi terburuk antara kedua pihak sejak perang tahun 2006.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Kamis mengklaim telah membunuh kepala unit udara Hezbollah dalam serangan udara di Beirut. Hezbollah kemudian mengonfirmasi kematian tersebut melalui akun Telegram resmi mereka.

Siaran Channel 12 Israel melaporkan bahwa pejabat tinggi Israel memiliki syarat-syarat tersendiri untuk gencatan senjata, yang kemungkinan besar akan ditolak oleh pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah.

Sementara itu, Radio Tentara Israel melaporkan bahwa militer masih memerlukan lebih banyak waktu untuk mencapai tujuannya, yaitu melemahkan kemampuan Hezbollah.

Menteri Luar Negeri Lebanon, Abdallah Bou Habib, mengatakan sekitar setengah juta orang telah mengungsi di dalam negeri akibat serangan udara Israel.

Dalam seminggu terakhir, Israel secara signifikan meningkatkan intensitas serangan udaranya. Selain membunuh komandan-komandan tinggi Hezbollah, ribuan alat komunikasi seperti pager dan walkie-talkie milik kelompok tersebut juga dihancurkan.

Iran dan Hezbollah menuduh Israel bertanggung jawab atas operasi ini, meskipun Israel belum mengonfirmasi ataupun menyangkal keterlibatannya. Israel juga mengklaim telah menghancurkan sebagian besar persenjataan misil Hezbollah.

Salah satu sekutu Netanyahu dari kelompok sayap kanan, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, mengancam akan keluar dari koalisi pemerintahan jika ada gencatan senjata permanen di Lebanon, yang dapat menyebabkan runtuhnya pemerintahan.

Oposisi politik di Israel juga menunjukkan ketidaktertarikan pada usulan gencatan senjata ini. Mantan Perdana Menteri Naftali Bennett, yang kemungkinan akan menantang Netanyahu dalam pemilu mendatang, menyatakan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berhenti.

"Jika Hezbollah ingin pertempuran berakhir, mereka bisa meletakkan senjata, mendemilitarisasi diri mereka, dan bergerak 15 kilometer dari perbatasan Israel," katanya di X.

Pemimpin oposisi Yair Lapid menyatakan bahwa jika gencatan senjata dilakukan, itu hanya seharusnya berlangsung tidak lebih dari tujuh hari, untuk mencegah Hezbollah memulihkan kekuatan militernya.

Upaya diplomatik AS untuk mengakhiri pertempuran di Gaza sebelumnya juga gagal. Kritik domestik terhadap Netanyahu menuduhnya menunda gencatan senjata demi menjaga dukungan dari sekutu sayap kanannya seperti Ben Gvir. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved