Human Interest Story

Setia dengan Pahangga, Misi Nusi Bertahan hidup di Tengah Hutan Desa Modelidu Gorontalo

Dari sebuah pondok kayu sederhana di atas bukit Desa Modelidu, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, asap tipis mengepul tanpa henti.

|
Penulis: Jefry Potabuga | Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com
PEMBUAT GULA MERAH--Misi Nusi Warga Desa Modelidu Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo saat membuat gula merah, Sabtu (13/9/2025). Sumber foto: TribunGorontalo. com/Jefri Potabuga. 

TRIBUNGORONTALO.COM – Dari sebuah pondok kayu sederhana di atas bukit Desa Modelidu, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, asap tipis mengepul tanpa henti.

Dari kejauhan pondok itu tampak sepi, seolah tak berpenghuni. Namun, saat didekati pada Sabtu (13/9/2025), terdengar suara kayu patah dimasukkan ke tungku, cairan yang mendidih, serta aroma manis nira yang menyeruak ke udara.

Di dalam pondok berlantai tanah itu, seorang pria kurus berusia 58 tahun tengah berkutat dengan wajan besi hitam besar berisi cairan cokelat pekat.

Dialah Misi Nusi, pembuat gula merah tradisional atau pahangga yang tetap setia menjaga pekerjaan turun-temurun ini di tengah gempuran zaman modern.

“Setiap hari saya di sini, dari subuh sampai matahari hampir tenggelam. Inilah hidup saya,” ucap Nusi kepada TribunGorontalo.com.

Sejak istrinya meninggal pada 2016, Nusi tinggal bersama dua anaknya di desa.

Lima anak lainnya telah berkeluarga dan hidup terpisah. Pondok kecil di kebun gula merah menjadi tempat pelarian sekaligus sumber penghidupan.

“Kalau tidak ke pondok ini, saya merasa kosong. Di sinilah saya merasa masih punya arti,” tuturnya lirih.

Bagi Nusi, gula merah bukan sekadar pemanis makanan, melainkan penopang keluarga. Dari hasil menjual pahangga, ia berhasil menyekolahkan, bahkan menikahkan anak-anaknya.

“Saya tidak punya pekerjaan lain. Hanya ini yang saya bisa. Dari gula merah ini anak-anak bisa sekolah sampai lulus,” kenangnya.

Setiap hari, Nusi tetap bangun dini hari untuk menyadap pohon enau, lalu menjaga api tungku hingga sore.

Pekerjaan itu membutuhkan tenaga besar, terlebih jalan menuju pondok menanjak, berlumpur saat hujan, dan terjal di beberapa bagian.

“Kalau sudah mendidih, tidak bisa ditinggal. Harus dijaga. Kadang saya duduk sampai pegal, tapi ini yang bikin saya bisa bertahan hidup,” katanya.

Dalam dua hari proses, Nusi bisa menghasilkan sekitar 15 kilogram gula merah. Dengan harga Rp25 ribu per kilogram, hasil itu masih jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Tantangan lain datang dari kayu bakar yang kian sulit didapat.

 “Sekarang paling susah kayu. Harus banyak sekali. Saya ambil dekat-dekat sini saja, tidak kuat lagi jauh-jauh,” ujarnya sambil menambahkan batang kayu ke tungku.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved