“Anggap pas PP sekitar Rp 30.000, itu dikali 22 hari saja udah Rp 660.000. Coba kalau sekarang tarik ke ongkos pulang dan pergi Rp 40.000-50.000, ‘meninggal’ kantong gue sih,” katanya.
Ia juga mengaku kesulitan beralih ke transportasi umum karena lokasi rumah dan kantornya tidak dekat dengan stasiun KRL, halte Transjakarta, atau akses MRT dan LRT.
“Jadi makin enggak ramah di kantong. Dan yang harus diinget, ya enggak semua area terakses sama transportasi umum kayak KRL, Transjakarta, MRT, atau LRT,” sambung dia.
Hal serupa dirasakan Ani (25), warga Bekasi.
Ia setiap hari menggunakan ojol dari stasiun menuju kantornya yang berjarak sekitar tujuh kilometer.
Ongkos yang ia keluarkan mencapai Rp 26.000 sekali jalan.
“Ibaratnya, kalo bisa nangis ya nangis. Kalo gini caranya ya mending bawa motor pribadi, tapi ojol nanti jadi sepi,” ujar Ani.
Sementara itu, Tina (25) menyebut dirinya bingung mengatur keuangan jika tarif benar-benar naik.
Gaji bulanannya hanya sekitar Rp 6 juta, sementara transportasi menjadi pengeluaran rutin yang cukup besar.
Tina biasanya memilih membayar tarif normal agar penghasilan ojol tidak terlalu terpotong.
Namun, kini ia mempertimbangkan untuk menggunakan fitur hemat dari aplikasi.
“Aku pikir kasihan ke pengendara kalau aku pakai (mode hemat) itu. Tapi dengan lihat pemerintah kayak gini, ya aku harus kasihan ke diri aku sendiri dulu,” tutur Tina.(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dan Kompas.com