Protes Sopir Online

Merasa Diperas Aplikator Kuning, Para Taksi Driver Online Mengadu ke DPRD

Sekitar 50 unit mobil berjejer rapi di depan Kantor DPRD Provinsi Gorontalo, Senin (8/7/2025).  Puluhan driver angkutan sewa khusus (ASK)

Penulis: Herjianto Tangahu | Editor: Wawan Akuba
FOTO: Herjianto Tangahu, TribunGorontalo.com
DEMONSTRASI : Puluhan driver menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor DPRD Provinsi Gorontalo, Rabu (9/7/2025). 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Sekitar 50 unit mobil berjejer rapi di depan Kantor DPRD Provinsi Gorontalo, Senin (8/7/2025). 

Puluhan driver angkutan sewa khusus (ASK) turun ke jalan, menyuarakan keresahan mereka soal biaya pengurusan legalitas kendaraan dan kartu KESP (Kartu Elektronik Standar Pelayanan) yang dinilai terlalu mahal.

Biaya yang mereka hadapi bukan kecil, yakni mencapai Rp1,7 juta per kendaraan. 

Angka ini dirasa sangat memberatkan para driver, terutama di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan.

"Harga yang mereka tetapkan kepada kami driver sangat tinggi, di angka Rp 1,7 juta," ungkap Arul Lagata, Sekretaris Aliansi Driver Maxim Gorontalo.

Padahal menurutnya, pengurusan ASK sebenarnya bisa dilakukan secara mandiri dan bahkan tidak dipungut biaya di Dinas Perhubungan. 

Namun, driver tetap terganjal pada satu syarat penting yaitu rekomendasi dari pihak aplikator kuning tempat mereka bekerja.

Masalahnya, permintaan rekomendasi itu kerap ditolak aplikator jika tak membayar.

"Ketika kita akan mengurus ke kantor Perhubungan, harus meminta rekomendasi dari aplikator (Maxim), tapi mereka tidak mau memberikan rekomendasi itu," jelas Arul.

Hal ini membuat para driver berada di posisi serba salah.

Mereka ingin mengikuti aturan dan mengurus legalitas secara resmi, tetapi aksesnya ditutup.

Sementara itu, deadline semakin dekat.

"Dan tanggal 14 Juli Dishub akan melakukan penertiban, jika tidak mengantongi KESP akan ditilang, dendanya Rp 250 ribu," kata Arul

Keluhan serupa juga disuarakan oleh Anis Nasibu, Ketua Aliansi Driver Maxim Gorontalo

Ia menyoroti ketidakjelasan alokasi dana dari biaya Rp1,7 juta tersebut dan menuntut transparansi.

"Harusnya diajak duduk bersama dan dipaparkan," ujar Anis, mempertanyakan ke mana sebenarnya uang sebesar itu mengalir.

Para driver mendesak agar DPRD Provinsi Gorontalo segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan semua pihak terkait seperti Dishub, aplikator, dan perwakilan driver.

Aliansi Driver Maxim Gorontalo berharap adanya kejelasan mekanisme dan penghapusan biaya tinggi yang dinilai memberatkan.

Hingga berita ini dimuat, belum ada informasi dari pihak aplikator terkait tuntutan yang diungkapkan para sopir online. 

Sebagai informasi, bahwa transportasi berbasis aplikasi seperti Maxim, Grab, dan Gojek secara hukum bukan disebut "taksi", melainkan Angkutan Sewa Khusus (ASK).

Status hukum itu ditetapkan lewat Peraturan Menteri Perhubungan (PM) Nomor 108 Tahun 2017, yang resmi berlaku sejak 1 November 2017.

Aturan ini menjadi dasar operasional semua layanan angkutan penumpang berbasis aplikasi di Indonesia.

Apa Itu Angkutan Sewa Khusus (ASK)?

ASK adalah jenis layanan angkutan umum yang tidak memiliki rute tetap seperti angkot atau bus. Ia juga tak punya jadwal pasti.

Penumpang memesan layanan ini lewat aplikasi. Kendaraannya biasanya plat hitam, tanpa tulisan “taksi”, dan tidak memakai argometer.

Itulah mengapa taksi online tidak disebut taksi secara resmi. Agar tetap legal, pemerintah memasukkan mereka dalam kategori khusus bernama Angkutan Sewa Khusus.

Kenapa Harus Diatur Pemerintah?

Pemerintah ingin menjamin bahwa layanan ini tetap aman, nyaman, tertib, dan terjangkau.

Selain itu, pengaturan ini penting agar ada kesetaraan dengan angkutan umum lainnya dan perlindungan hukum untuk penumpang maupun pengemudi.

Apa Saja Aturan Penting dalam PM 108 Tahun 2017?

Berikut poin-poin penting dari regulasi tersebut yang wajib dipahami driver maupun penumpang:

ASK harus dioperasikan oleh badan hukum (misalnya koperasi atau perusahaan).

Minimal punya 5 kendaraan untuk bisa mengajukan izin resmi.

STNK harus atas nama badan hukum.

Wajib uji KIR untuk menjamin kelayakan kendaraan.

Tarif ditentukan sesuai batas bawah dan atas, yang ditetapkan oleh Kemenhub lewat masukan dari daerah.

Area operasi dan jumlah kendaraan dibatasi agar tidak terjadi kelebihan (over supply).

Aplikator tidak boleh bertindak sebagai penyedia layanan angkutan. Mereka hanya boleh menyediakan aplikasi pemesanan.

Pembayaran tarif berdasarkan aplikasi, bukan argometer seperti taksi konvensional.

Driver harus memiliki KESP (Kartu Elektronik Standar Pelayanan) sebagai bukti legalitas.

Karena salah satu syarat utama adalah badan hukum dengan minimal 5 kendaraan, maka driver perorangan bisa bergabung dalam koperasi. Koperasi ini lalu mengurus izin ASK secara kolektif.

Selama kendaraan digunakan untuk mengangkut penumpang umum secara berbayar, maka secara hukum ia dianggap angkutan umum dan wajib uji KIR. Tujuannya tentu untuk keselamatan penumpang. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved