Polemik Transpuan Gorontalo

Larangan Waria Manggung Diprotes Komunitas Transpuan Gorontalo hingga Lapor ke Kemenkumham

Komunitas Transpuan Gorontalo melaporkan tindakan sejumlah kepala daerah terkait larangan waria atau secara umum transpuan, manggung di ruang publik.

Editor: Wawan Akuba
FOTO TribunGorontalo.com
TRANSPUAN GORONTALO -- Sejumlah anggota Transpuan dan kuasa hukumnya datangi Kanwil Kemenkumham Gorontalo, Rabu (15/5/2025). 

"Kementerian HAM akan menganalisis aduan kami, lalu kemungkinan besar memediasi antara pemerintah dan para transpuan bersama tim hukum. Harapannya, ini bisa dibicarakan secara terbuka dan dicari solusi yang manusiawi," jelasnya.

Tak hanya melapor ke Kemenkumham, tim hukum juga menyatakan telah menyiapkan langkah lanjutan berupa pengiriman surat ke DPRD Kota dan Kabupaten Gorontalo serta permohonan audiensi dengan sejumlah instansi terkait.

12 Transpuan Sudah Melapor

Kuasa hukum Rizka Umar menambahkan, saat ini sudah ada 12 orang transpuan yang secara resmi memberikan kuasa pendampingan kepada Yayasan Pendidikan dan Pendampingan Hukum Masyarakat (Yadikdam).

"Tanggal 5 Mei kemarin, teman-teman transpuan telah menandatangani surat kuasa. Kemungkinan jumlah ini akan bertambah dalam beberapa hari ke depan," ujar Rizka.

Menurutnya, perjuangan ini bukan untuk memperdebatkan identitas gender, melainkan memperjuangkan hak dasar untuk hidup, bekerja, dan diperlakukan secara manusiawi.

"Yang kami perjuangkan bukan soal orientasi mereka, tetapi hak hidup dan martabat mereka sebagai manusia. Mereka berhak dihormati dan diberi ruang untuk mencari nafkah," tegas Rizka.

"Kami Disamakan dengan Kriminal, Itu Sangat Menyakitkan"

Suara dari komunitas transpuan juga mengemuka dalam pertemuan tersebut.

Umi Key, salah satu perwakilan komunitas transpuan Gorontalo, mengungkapkan keresahan dan tekanan psikologis yang dialami rekan-rekannya sejak terbitnya edaran.

"Job-job dibatalkan, pekerjaan tetap dihentikan, bahkan kami mendapat diskriminasi di media sosial, lingkungan keluarga, sampai masyarakat. Kami sangat terganggu secara mental dan ekonomi," tutur Umi Key dengan nada getir.

Yang paling menyakitkan, katanya, adalah frasa dalam edaran pemerintah yang menyandingkan keberadaan transpuan dengan kriminalitas.

"Di edaran itu kami dilarang tampil-tampil sebagai transpuan dan disejajarkan dengan kalimat kriminal. Itu sangat menyakitkan. Kami ini warga negara, bukan pelaku kejahatan. Hak kami dijamin konstitusi," ucapnya.

Lebih lanjut, Umi menegaskan bahwa komunitasnya tidak menutup diri terhadap peraturan dan norma sosial.

Namun, ia berharap pendekatan yang digunakan pemerintah bersifat terbuka dan persuasif, bukan represif.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved