Sidang Korupsi Jl Nani Wartabone

Harta Benda Faisal Lahay Terdakwa Korupsi Jalan Nani Wartabone Gorontalo Terancam Dilelang

Dana ratusan juta itu sesuai Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo, dinikmati Faisal dari hasil gratifikasi proyek penataan j

|
Penulis: Redaksi | Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com
TERDAKWA - Faisal Lahay, terdakwa kasus korupsi Jl Nani Wartabone Gorontalo hadir di persidangan, Jumat (14/2/2025). Faisal diharuskan bayar uang pengganti dan denda, totalnya Rp 700 juta. Jika tidak, harta bendanya disita. FOTO: Herjianto Tangahu/TribunGorontalo.com 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Total Rp 602 juta harus dibayar Faisal Lahay sebagai uang pengganti dalam kasus korupsi proyek Jalan Nani Wartabone, Kota Gorontalo.

Dana ratusan juta itu sesuai Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo, dinikmati Faisal dari hasil gratifikasi proyek penataan jalan tersebut. 

Selain itu, JPU menuntut Faisal Lahay dengan hukuman tiga tahun penjara.

Adapun hal tersebut terungkap dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Hubungan Industrial Gorontalo pada Jumat (14/2/2025).

JPU menyatakan bahwa Faisal menikmati hasil dari tindakannya sebesar Rp 602.600.000. Jumlah tersebut akan dibebankan kepada Faisal sebagai uang pengganti.

Tak cuma itu, JPU juga menuntut Faisal membayar denda sebesar Rp 100 juta dengan subsider tiga bulan kurungan. 

Jika Faisal tidak mampu mengembalikan uang pengganti senilai Rp 602 juta, maka harta bendanya akan disita.

Dalam hal harta benda yang disita tidak mencukupi, maka hukuman tambahan berupa satu tahun penjara akan dikenakan kepadanya.

JPU menegaskan bahwa perbuatan Faisal bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Namun, beberapa hal yang meringankan terdakwa adalah pengakuan dan penyesalannya dalam persidangan, statusnya yang belum pernah dihukum sebelumnya, serta tanggungannya terhadap istri dan anak.

Setelah pembacaan tuntutan, Faisal bersama kuasa hukumnya menyatakan akan mengajukan pembelaan dalam sidang berikutnya yang dijadwalkan pada 24 Februari 2025. 

Dua Hal yang Memberatkan Faisal Lahay

JPU mengungkapkan dua hal yang memberatkan Faisal Lahay dalam kasus korupsi proyek Jalan Nani Wartabone, Kota Gorontalo.

JPU menekankan bahwa Faisal telah merugikan negara dan bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

1. Bertentangan dengan Program Pemerintah

JPU menyatakan bahwa tindakan Faisal Lahay tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam memerangi tindak pidana korupsi.

Sebagai upaya pemberantasan korupsi yang menjadi fokus utama pemerintah, perbuatan Faisal dinilai mencederai upaya tersebut dan merusak kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan negara.

2. Menimbulkan Kerugian Negara

Faisal diketahui telah menikmati hasil dari tindak pidana korupsi sebesar Rp 602.600.000.

Akibatnya, negara mengalami kerugian yang signifikan. JPU menuntut agar Faisal mengembalikan uang tersebut atau menggantinya dengan penyitaan aset yang dimilikinya.

Jika tidak mencukupi, hukuman tambahan berupa pidana penjara selama satu tahun akan dijatuhkan.

Dengan mempertimbangkan dua faktor ini, JPU menuntut Faisal dengan hukuman tiga tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan, serta penggantian kerugian negara.

Sidang lanjutan akan digelar pada 24 Februari 2025 untuk mendengar pembelaan dari terdakwa dan kuasa hukumnya.

Diberitakan sebelumnya Antum Abdullah dan Faisal Lahay ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo, Selasa (11/6/2024) malam. 

Kejati menetapkan Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penata Ruang (PUPR) Kota Gorontalo, Antum Abdullah dan kontraktor proyek Faisal Lahay menjadi tersangka pada Selasa 11 Juni 2024.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Gorontalo, Nursurya mengungkapkan peran Antum Abdullah dan Faisal Lahay dalam kasus proyek Jalan Nani Wartabone

Nursurya menjelaskan bahwa pada Selasa 12 Oktober 2021 atau setidaknya dalam bulan Oktober 2021 berdasarkan hasil pemilihan kelompok kerja (Pokja) Pengadaan Barang & Jasa Setda Kota Gorontalo

"Itu diserahkan kepada tersangka selaku kuasa pengguna anggaran merangkap sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) pada Dinas PUPR Kota Gorontalo bertempat di Kantor Dinas PUPR Kota Gorontalo," ungkapnya

"Terdapat tiga pemenang penyedia barang dan jasa yaitu PT Cahaya Mitra Nusantara sebagai Pemenang, PT Rizki Aflah Jaya Abadi Sebagai Cadangan 1 dan PT Mahardika Permata Mandiri Sebagai Cadangan II," jelasnya

Nursurya mengatakan bahwa hasil pemilihan tersebut dilakukan review oleh tersangka Antum Abdullah. 

"Dimana berdasarkan hasil review tersebut tersangka AA menolak hasil pemilihan penyedia yang dilakukan oleh Pokja Pengadaan Barang & Jasa Setda Kota Gorontalo," ucapnya

"Dan meminta untuk dilakukan evaluasi ulang, namun hasil review tersebut ditanggapi oleh Pokja Pengadaan Barang & Jasa Setda Kota Gorontalo yang tetap pada hasil pemilihannya," tambahnya

Menurut regulasi review dilakukan oleh tersangka Antum Abdullah bertentangan dengan dokumen pemilihan Nomor :600/POKJA.PBJ-KOTA.GTo/IX/2021 tanggal 01 September 2021 dan Peraturan Lembaga Kebijakan. 

Nursurya juga menjelaskan pengadaan barang dan jasa pemerintah R.1 No 12 Tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanan Pengadaan barang & Jasa Pemerintah melalui Penyedia yang menyebutkan bahwa penolakan sebagainana dimaksud berdasakan BAHP yang diterima (bukan berdasarkan hasil klarifikasi/verifikasi/pembuktian kepada peserta dan atau pihak lain). 

"Bahwa tersangka AA menerbitkan surat penunjukan penyedia barang dan jasa kepada PT Mahardika Permata Mandiri dengan Direktur Utama Azhari," tuturnya

"Yang kemudian memberikan kuasa Direktur kepada saksi Direktur Deny Juaeni selaku pihak yang dinyatakan cadangan kedua oleh Pokja Setda Kota Gorontalo, padahal bertentangan," tambahnya.

Penetapan PT Mahardika Permata Mandiri sebagai pemenang tender paket tersebut, Antum Abdullah bekeja sama dengan Tersangka Faisal Lahay selaku pihak swasta dengan adanya komitmen pemberian fee sebesar 17 persen dari nilai kontak sebelum dilakukan penandatanganan kontrak.

"Dimana jika komitmen fee tidak diberikan maka tidak akan dilakukan penandatanganan kontrak antara tersangka AA dengan saksi Deny Juaeni selaku Direktur PT Mahardika Permata Mandiri Cabang Gorontalo," ujarnya

"Maka saksi Deny Junaeni memberikan komitmen fee senilai Rp2,3 miliar melalui rekening Bank BCA milik saksi Bahrudin Pulukadang alias Alo," tambahnya

Kemudian Nursurya membeberkan dimana dana proyek dinikmati oleh Faisal Lahay senilai Rp1,6 miliar dan Antum Abdullah menikmati uang tunai senilai Rp303 juta. (*)

Penulis: Areal Limonu, Mahasiswa Magang UNG/2025
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved