Siswa Gorontalo Dibully
Kepsek SDN 41 Hulontalangi Gorontalo Dilema soal Kasus Bullying Anak Autis di Sekolah
Kasus ini pertama kali mencuat pada tahun 2024 setelah orang tua korban melaporkan bahwa anaknya yang merupakan penyandang autisme menjadi korban peru
Penulis: Arianto Panambang | Editor: Wawan Akuba
TRIBUNGORONTALO.COM, Kota Gorontalo – Kepala Sekolah (Kepsek) SDN 41 Hulontalangi, Ramli Pateda, mengakui adanya dilema yang ia hadapi terkait dugaan kasus bullying terhadap seorang siswa berkebutuhan khusus di sekolahnya.
Kasus ini pertama kali mencuat pada tahun 2024 setelah orang tua korban melaporkan bahwa anaknya yang merupakan penyandang autisme menjadi korban perundungan oleh siswa yang lebih senior.
Dalam wawancara dengan TribunGorontalo.com, Jumat (17/1/2024), Ramli menjelaskan bahwa pihak sekolah telah menerima laporan dari orang tua korban dan langsung mengambil langkah untuk menyelidiki kejadian tersebut.
Namun, upaya persuasif untuk mendapatkan pengakuan dari terduga pelaku tidak membuahkan hasil.
“Saya tidak menghukum atau menghakimi anak-anak tersebut, tetapi hasilnya mereka tetap tidak mengaku. Tanpa bukti yang jelas, kami tidak bisa mengambil tindakan tegas terhadap mereka karena hal itu dapat menimbulkan masalah lain dengan orang tua siswa yang dituduh,” ungkap Ramli.

Meskipun demikian, Ramli menegaskan bahwa pihak sekolah tidak tinggal diam. Berbagai upaya preventif telah dilakukan untuk meminimalisasi risiko terjadinya bullying di masa mendatang.
Salah satu langkahnya adalah meningkatkan intensitas pemberian edukasi dan arahan kepada siswa. Jika sebelumnya kegiatan ini dilakukan seminggu sekali, kini menjadi tiga kali dalam seminggu.
“Kami memberikan penguatan dan arahan secara rutin, baik di dalam kelas maupun di sela-sela kegiatan seperti literasi dan olahraga. Tujuannya agar siswa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dampak negatif bullying,” jelasnya.
Selain itu, sekolah juga memberlakukan sanksi berupa hukuman membersihkan fasilitas umum, seperti toilet sekolah, bagi siswa yang terbukti melakukan tindakan perundungan.
Hukuman ini dirancang untuk memberikan efek jera tanpa harus melibatkan hukuman fisik atau perlakuan yang dapat mencoreng psikologis siswa.
Saat dimintai tanggapan mengenai permintaan orang tua korban untuk memberikan jaminan bahwa bullying tidak akan terulang, Ramli secara jujur mengaku bahwa hal tersebut sulit untuk diwujudkan.
“Dengan jumlah siswa lebih dari 370 orang dan kondisi lingkungan sekolah yang terbatas, saya tidak bisa menjamin bahwa bullying tidak akan terjadi lagi. Namun, itu bukan berarti kami tidak berupaya. Kami terus melakukan yang terbaik untuk mencegah kasus serupa,” tambahnya.
Ramli juga menyoroti tantangan besar dalam mengontrol interaksi antarsiswa di sekolah.
Ia menyebut faktor lingkungan dan intensitas hubungan sosial di kalangan siswa sebagai salah satu penyebab sulitnya mengelola risiko bullying.
Dalam penanganan siswa berkebutuhan khusus, Ramli memastikan bahwa pihak sekolah menerapkan prinsip inklusif sesuai dengan Kurikulum Merdeka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.