Justru Cemari Lingkungan, Kemenkes tak Lagi Anjurkan Penggunaan Fogging untuk Penanganan DBD

Apalagi, fogging sebetulnya hanya berdampak sesaat. Malah, justru mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan masyarakat. 

Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com
Korem 133/Nani Wartabone bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo melakukan pengasapan (Fogging), bertempat di Markas Besar Korem 133/Nani Wartabone 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Penggunaan asap atau fogging sebagai cara pemberantasan nyamuk, kini tidak lagi disarankan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

Alih-alih membunuh nyamuk, fogging justru dianggap bikin nyamuk semakin kebal atau resisten. 

Apalagi, fogging sebetulnya hanya berdampak sesaat. Malah, justru mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan masyarakat. 

Fogging disebut sangat mencemari lingkungan dan akhirnya mencemari manusia.

"Saat ini sudah meminimalkan penggunaan fogging, yang harus dilakukan adalah pemberantasan sarang nyamuk,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Imran Pambudi MPHM.

Menurutnya, pengendalian nyamuk dan sarangnya harus secara massal dan berkesinambungan. 

Jika memang endemis, “ini harus dilakukan sepanjang tahun," tegas Imran. 

Menurutnya lagi, fogging hanya efektif dalam membunuh nyamuk dewasa, namun tidak untuk larva, telur, ataupun jentik nyamuk.

Biasanya fogging dilakukan saat ditemukan satu kasus positif Demam Berdarah, ada penderita panas yang lain, dan ditemukan jentik.

Pemerintah memiliki strategi penanggulangan DBD terutama dalam pemberantasan sarang nyamuk.

Pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan 3M plus yaitu pertama menguras dan menyikat, kedua menutup tempat penampungan air, ketiga memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas.

Plusnya adalah bagaimana mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk dengue seperti menanam tumbuhan pengusir nyamuk.

Data Kemenkes pada 27 November 2022 menunjukkan kasus DBD periode 10 tahun terakhir mulai naik setiap bulan November, puncak kasus pada Februari, dan Maret-April mulai terjadi penurunan kasus.

Siklus ini terjadi selama 10 tahun terakhir.

"Ini hubungannya dengan siklus musim hujan, jadi kalau musim hujan itu karena ada genangan air maka kasusnya meningkat dan ini terjadi setiap tahun seperti ini," ungkap dr Imran. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved