Berita Internasional

Drama Baru Donald Trump: Pertemuan dengan Putin di Budapest Mendadak Dibatalkan

Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan pembatalan pertemuan yang telah lama dinantikan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Editor: Wawan Akuba
FOTO WHITE HOUSE
PENJAMUAN -- Presiden AS Donald Trump menjamu Kepala NATO Mark Rutte di Ruang Oval pada Rabu, 22 Oktober 2025. 

TRIBUNGORONTALO.COM, Internasional -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan pembatalan pertemuan yang telah lama dinantikan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Pertemuan tersebut rencananya digelar di Budapest pekan ini, namun Trump mengumumkan pembatalan itu pada Rabu waktu setempat.

Langkah ini semakin menambah kompleksitas arah kebijakan luar negeri pemerintahan Trump terhadap Rusia, terutama di tengah perang yang masih berlangsung di Ukraina.

Keputusan itu juga berbarengan dengan penolakan Trump terhadap permintaan Ukraina atas senjata canggih, serta pujian diplomatik yang datang dari Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte.

Berbicara kepada wartawan di Oval Office, Trump menyampaikan alasannya membatalkan pertemuan tersebut.

Keputusan itu diambil setelah pembicaraan persiapan antara Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dan Menlu Rusia Sergey Lavrov tidak menghasilkan kemajuan berarti.

Sehari sebelumnya, Gedung Putih bahkan sudah memberi sinyal bahwa tidak ada rencana pasti terkait pertemuan itu.

“Rasanya tidak tepat,” kata Trump menjelaskan pembatalan tersebut.

“Saya merasa kita tidak akan sampai ke titik yang kita harapkan, jadi saya batalkan. Tapi mungkin nanti kita akan melakukannya di waktu lain.”

Padahal sebelumnya, Trump menggambarkan komunikasi dengan Putin sebagai “sangat produktif” setelah panggilan telepon panjang antara keduanya.

Pertemuan di Budapest tersebut diharapkan menjadi langkah penting untuk mendorong negosiasi menuju akhir konflik Ukraina-Rusia.

Namun, Trump mengakui dirinya frustrasi dengan lambatnya proses dialog, meskipun ia mengklaim tetap memiliki hubungan pribadi yang baik dengan Putin.

“Setiap kali saya berbicara dengan Vladimir (Putin), pembicaraan kami selalu berjalan baik, tapi tidak pernah menghasilkan apa-apa,” aku Trump.

“Mereka hanya tidak ke mana-mana.”

Meski begitu, Trump masih yakin bahwa kedua pihak sebenarnya menginginkan perdamaian.

“Saya pikir mereka ingin damai. Kedua belah pihak ingin damai,” ujarnya.

“Sekarang saatnya membuat kesepakatan. Terlalu banyak nyawa yang hilang.”

Ia juga menegaskan keyakinannya bahwa perang tersebut “tidak akan pernah terjadi” jika dirinya sudah menjadi presiden lebih awal.

Dinamika ini terjadi bersamaan dengan kunjungan resmi Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, ke Gedung Putih.

Rutte, yang dikenal sebagai salah satu pemimpin Eropa paling berpengaruh di mata Washington, datang tepat setelah pembatalan pertemuan Budapest.

Momen tersebut dimanfaatkan Rutte untuk memberikan pujian terbuka kepada Trump, menyebut keberhasilannya dalam mendorong perdamaian di Timur Tengah sebagai “pencapaian luar biasa.”

Ia juga menilai kepemimpinan Trump telah “menghidupkan kembali” semangat aliansi NATO.

Rutte bahkan menyebut Trump sebagai “jembatan penting menuju Moskow.”

“Pada bulan Februari, Presiden Trump mulai membuka dialog langsung dengan Presiden Putin. Dan saya pikir hanya dia yang bisa membuka jalur komunikasi itu,” ujarnya.

Terkait isu perdamaian, Rutte menegaskan tidak ada rencana diplomatik kompleks di meja perundingan, melainkan hanya satu tujuan sederhana yang pernah diungkapkan Trump usai bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

“Tidak ada rencana damai di atas meja,” tegas Rutte.

“Kalau pun ada, itu seperti yang dikatakan presiden pekan lalu ‘berhenti di tempatmu, hentikan pertempuran sekarang juga.’”

Salah satu isu paling sensitif muncul setelah pertemuan Trump dengan Zelenskyy minggu lalu, yakni permintaan Ukraina agar AS mengirimkan rudal jelajah jarak jauh Tomahawk.

Trump menolak permintaan itu dengan alasan kompleksitas sistem senjata tersebut.

“Masalah dengan Tomahawk yang banyak orang tidak tahu adalah butuh minimal enam bulan, bahkan setahun, untuk belajar mengoperasikannya,” jelas Trump.

“Itu sangat rumit.”

Ia menegaskan bahwa Amerika tidak akan mentransfer kendali atau pelatihan atas senjata itu.

“Satu-satunya cara Tomahawk bisa ditembakkan adalah jika kami yang melakukannya, dan kami tidak akan melakukannya,” ujarnya.

“Kami tahu cara menggunakannya, dan kami tidak akan mengajarkannya ke negara lain.”

Keputusan ini menjadi pukulan bagi Ukraina, yang berharap rudal tersebut dapat digunakan untuk menyerang fasilitas militer dan energi Rusia jauh di dalam wilayah musuh.

Meski demikian, Zelenskyy menggambarkan pertemuannya dengan Trump sebagai “positif,” walau tanpa komitmen pengiriman Tomahawk.

Namun pada Selasa, ia mengaku keputusan Trump itu membuat Rusia merasa lebih nyaman dan kurang terdorong untuk membuka kembali jalur diplomasi.

Rutte menolak berkomentar banyak soal itu, hanya mengatakan bahwa keputusan pemberian senjata adalah “kewenangan masing-masing negara,” dan bahwa “NATO tidak mengambil posisi.”

Tekanan Ekonomi Berlanjut

Rutte menyambut baik sanksi baru pemerintahan Trump terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, dengan menilai langkah itu sebagai strategi penting untuk menekan Moskow agar mau berunding.

“Tekanan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan,” kata Rutte kepada wartawan.

“Anda bisa mengubah cara Putin berpikir, mengubah bagaimana ia ingin mengakhiri perang.”

Ia menilai pendekatan ganda antara upaya diplomasi langsung dan tekanan ekonomi berat adalah kunci untuk memaksa Rusia menerima kerangka “gencatan senjata, berhenti di tempatmu” seperti yang diinginkan Trump.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved