TG: Setelah kuliah lalu menjadi dosen kemudian gimana pak?
Thariq Modanggu: Terus saya menjadi dosen IAIN, 20 tahun di situ.
TG: Lalu bagaimana pak bupati tertarik ke dunia politik?
Thariq Modanggu: Memang perjalanan sejarah. Saat 2002 mulai berhembus, dulu koran di Gorontalo, itu Harian Gorontalo, di situ ada berita tentang pemekaran Kabupaten Pantura sebelum jadi Gorut, masih dengan Kabupaten Gorontalo.
Salah satu hobi saya kliping karena ketiadaan bahan bacaan, biasanya buku cerita saya bawa ke rumah. Tiba di sini mulai ada buletin dulu sudah ada Kompas karena saya dulu sering ke Sentral. Dulu saya kos itu di Bina Taruna saya kebagian beli kangkung di Sentral, saya temukan pembungkus rempah-rempah dari koran, jadi saya biasa baca-baca dulu.
Kalau ada kelebihan itu saya beli untuk kliping artikel, sampai sekarang di perpustakaan saya masih tersimpan artikel saya. Makanya dari situ saya langganan koran.
Di situlah saya baca ada pemekaran Pantura waktu itu maka saya menulis tentang Pantura, tiba-tiba itu dijadikan dasar oleh panitia untuk mengundang saya jadi moderator dievaluasi pemekaran Gorontalo Utara maka di situ saya tau pembentukan Pantura sudah dari tahun 66.
Karena saya waktu itu dinila netral maka saya diangkat sebagai Ketua Komite Pembentukan Panturan selama tiga tahun setelah itu kita ganti namanya menjadi Gorontalo Utara dari situ keterikatan saya dengan kabupaten ini.
2008 Pilkada, pertama saya didorong untuk maju, memang pertama itu modal emosional tidak ada modal sama seklali, saya masih tinggal di rumah papan, terus mobil yang dipakai kampanye itu rental, bensinya diisi oleh teman-teman yang dorong saya waktu itu. Dan itulah aktivitas pertama saya lawan pak Rusli Habibie.
Waktu itu skala 62 di Gorut kita gugat ke MK, waktu itu putusan MK kita kalah 57 putusan. Tapi itulah perjalanan dan saya menjadi bupati tidak lepas dari peran pak Rusli Habibie.
Dulu di Pilkada 2008 mengalahkan saya tapi di 2025 ini peran pak Rusli Habibie itu besar untuk saya jadi bupati dari Partai Golkar.
Pilkada pertama dan kedua kalah saya kembali lagi ke kampus, kemudian pilkada ke tiga almarhum pak Indra Yasin meminta ke saya untuk menjadi wakil.
Sebetulnya berat juga dua kali kalahin saya tapi yang ketiga kok saya diminta jadi wakil terus mundur jadi dosen lagi, tapi memang salah satu hal yang membuat saya mundur karen keterikatan dengan Gorut karena saya ketua pembentukan Gorut.
Saya keluar dari zona nyaman juga karena ada ikatan historis, yang kedua ada soal gagasan dan itu yang membuat saya menerima tawaran pak Indra Yasin menjadi wakil.
TG: Pak bupati ini Pilkada 2024 sampai PSU saya lihat agak berat, nah bagaimana kesan Anda Pilkada tahun kemarin?