Thariq Modanggu: Kalau anak sudah terbiasa, tapi ada satu cara menangani itu, kebetulan anak saya satu di Jogja, satu di Bandung, dan dua di Gorontalo. Di mana meraka itu sudah buat family grub.
Nah kita berkomunikasinya lewat grub, video call dan seterusnya. Ada keluhan langsung di grub, jadi itu media berkomunikasi untuk mengetahui problem mereka. Kita dengan mudah bisa pantau.
TG: Tribuners, Pak bupati bisa Anda jelaskan perjalanan hidup anda dari SD, SMP, SMA hingga menjadi bupati?
Thariq Modanggu: Mungkin satu kata zigsag, tidak berartusan sepertinya . Jadi awal itu SD saya ingin masuk pesantren, tapi ada saudara bilang dalam bahasa Gorontalo Longola mo maso pesantren bo hemohehula paita, maksudnya baca doa di kubur.
Ya itulah kira-kira images. Akhirnya saya masuk SD,SMP dan STM Jurusan Elektronika. Soal gambar-gambar, desain televisi bagaimana. dari situ saya masuk IAIN jadi keinginan masa kecil untuk sekolah agama akhirnya masuk IAIN Gorontalo.
Saya lulusan tahun 1990 jurusan elektronika sebetulnya ingin melanjutkan jurusan yang sama tapi dapat informasi S1 jurusan elektronika nanti di Jawa.
Sedangkan di Manado dia listrik, arus keras kalau arus kecil itu harus di Jawa. karena tidak punya biaya masuk IAIN saja akhirnya sampai S2 saya menjadi dosen di situ.
TG: Pak bupati latar belakang orangtua apa?
Thariq Modanggu: Kalau bapak saya guru SD dan seniman juga. Orangtua menurut saya ada kekhususan kalau ibu itu lebih ke perjuangan hidup bisa sekolah, kalau bapak itu orangnya demokratis. Setiap pulang sekolah STM itu selalu berdiskusi dengan bapak saya.
Jadi biasanya yang diperoleh dalam skala internasional itu kita diskusikan kadang-kadang ibu saya bangun di atas jam satu, ibu saya menyuruh untuk tidur, bahkan kadang bahasa Gorontalo sering bilang kalian seperti berteman padahal bapak dan anak karena situasi sangat-sangat dialogis jadi sifat-sifat demokratis itu bapak dan itu mempengaruhi perjalana hidup saya. Kadang-kadang di satu sisi saya sangat emosional, sangat perasa itu bentukan ibu.
Dulu waktu itu ada beras kuning. Ibu punya trik untuk itu biasanya dicampur dengan daun pandan agar baunya agak sedikit berkurang. Kalau itu lambat, ibu saya sering ajak untuk kalau ada panen kita kerja dapat bagian di situ, lalu kita bawa di rumah ani-ani itu harus diinjak untuk keluar dari jerami.
Terus yang ke dua jagung,. Jadi saya merasakan betul perjuangan itu dibentuk oleh ibu. Memang guru dulu sangat dihargai tapi bapak saya tidak seperti guru-guru lain punya sawah, bapak saya itu musisi paling dia main biola, terus mengerjakan rumus matematika. Jadi secara ekonomi kami memang berat karena bapak saya tidak punya lain selain dan jatah (beras).
Makanya ibu sering ajari saya untuk ambil gaji (bekerja), ambil bagian dari panen.
Kemudian kalau musim kering, itu kami mencari talas, itu kami cari sampai di kaki gunung, sama ubi hutan, saya masih ingat di Tolinggula masa kecil seperti itu.
Jadi untuk menambah kekurangan dari beras jatah, kami lakukan makan gaji (bekerja) dan mencari talas dan ubi hutan yang harus direndam air 2 hari setelah itu baru bisa digoreng kalau tidak gatal. Itu masa kecil seperti itu.