Usia Ciputra saat itu 16 tahun. Ia dibantu masuk sekolah oleh tante Sioe dan Ci Loan.
Tempat tinggalnya pun berpindah, dari rumah kakek ke rumah lama orang tuanya di Siendeng—kini bersama Ci Tiem, anak tante Sioe yang dulu memperlakukannya keras.
Kali ini, Ciputra kembali bukan sebagai anak kecil, tapi sebagai remaja yang membawa cita-cita besar.
Teman sekelasnya saat itu antara lain Ileana Syarifah Uno, perempuan yang kemudian menjadi istri tokoh nasional, John Ario Katili.
Gereja, Lintasan Lari, dan Masa Depan yang Terbuka
Tahun 1950, Ciputra dibaptis di Gereja GEMIM. Bersama sejumlah keluarga Tionghoa dan para pemuda Kristen, ia membantu mendirikan gereja kecil yang kini dikenal sebagai GPIG Jemaat Bait’el Gorontalo.
Kedekatannya dengan Meneer Eizenring kepala sekolah SMP yang berkewarganegaraan Belanda, membuka banyak ruang untuk berkembang.
Percaya diri dan semangatnya tumbuh. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Manado, sempat masuk SMA Negeri, lalu pindah ke SMA Katolik Don Bosco.
Tahun 1951 menjadi titik pencapaian besar. Ciputra terpilih sebagai pelari mewakili Sulawesi Utara dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Jakarta.
Sebuah pencapaian luar biasa bagi anak kampung yang nyaris putus sekolah, pernah gagal naik kelas, dan pernah tinggal di kebun sunyi Popaya.
(*)