Pilihan satu-satunya adalah kembali ke tanah milik keluarga, sebuah kebun kecil di Desa Popaya, sekitar tujuh kilometer dari Bumbulan.
Popaya, yang dulu bagian dari Kecamatan Paguat, kini berada dalam wilayah Kecamatan Dengilo.
Di tempat ini, Ciputra dan ibunya hidup dalam kesederhanaan ekstrem.
Mereka hanya memiliki dua ekor sapi dan sebidang tanah setengah hektar.
Hasil panen seadanya menjadi andalan. Lauk sehari-hari pun hanya sayuran dari kebun.
Daging atau protein lain menjadi kemewahan yang nyaris tak tersentuh.
Namun Popaya tak hanya menyuguhkan kemiskinan. Seorang pria bernama Om Gugu, pemburu dari komunitas Sangir Talaud, memperkenalkan Ciputra pada dunia berburu babi hutan.
Mereka melintasi hutan bersama 17 ekor anjing, menyusuri jejak babi, dan menyusun strategi seperti sekelompok prajurit liar.
Dari perburuan itu, Ciputra tak hanya belajar ketangkasan, tetapi juga mengenal nilai kerja sama dan agama Kristen.
Pada usia 15 tahun, Ciputra merasa waktunya tiba untuk kembali belajar.
Ia meninggalkan kebun dan menuju Kota Gorontalo. Perjalanan tak mudah.
Bendinya rusak di tengah jalan, memaksanya menumpang kapal dagang bernama "Zwarte Hond".
Sebelum sampai ke kota, ia menyempatkan membeli sepatu. Ukurannya terlalu besar, namun tak jadi soal.
Sepatu itu bukan sekadar alas kaki, melainkan simbol tekad baru. Ia berjuang untuk diterima di SMP Negeri Gorontalo yang kini adalah SMAN 1 Kota Gorontalo.
Dulunya ini adalah sekolah bergengsi yang dipimpin Meneer Yadin, guru keturunan Belanda dari Gorontalo.