Ketika duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, Ciputra tidak naik kelas.
Tahun 1938 atau 1939 menjadi titik pahit. Ia merasa gagal.
Pesisir Paguat dan Sekolah yang Didirikan Ayah
Tak lama kemudian, Parigi diguncang bencana. Tsunami dan gempa membuat keluarga Ciputra memutuskan pindah ke Gorontalo.
Mereka menetap di wilayah pesisir, tepatnya di Desa Bumbulan, sekarang termasuk wilayah Desa Pentadu, Kecamatan Paguat, Pohuwato.
Letaknya berada tepat di depan pasar tua yang kini tak lagi digunakan.
Ayah dan ibunya mengajak Ciputra tinggal di rumah sederhana di kampung nelayan.
Lingkungan yang sunyi menjadi saksi masa rehat Ciputra dari sekolah. Ia menganggur lebih dari setahun. Merasa tertinggal, bahkan tak berguna.
Melihat kondisi itu, sang ayah mengambil inisiatif. Ia bersama rekan-rekannya mendirikan sekolah Tionghoa swasta.
Bukan gedung besar, hanya ruang belajar bagi sepuluh anak perantau. Ciputra menjadi salah satu muridnya.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Tahun 1943, tentara Jepang menangkap ayahnya.
Ia dibawa dengan kapal menuju Manado. Dua tahun kemudian, Jepang menyerah.
Beberapa warga yang ikut ditahan kembali ke kampung. Tapi Tjie Siem Po tak pernah kembali.
Kabar duka datang: ia meninggal karena sakit perut hebat dalam tahanan. Ciputra baru berusia 13 tahun saat kehilangan ayahnya.
Setelah sang ayah tiada, roda kehidupan berubah drastis. Ibunya tak sanggup melanjutkan usaha toko kelontong yang dirintis suaminya.