Berita Viral
DPR Desak Status Guru Besar eks Dosen UGM Dicabut Jika Terbukti Lecehkan Mahasiswi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PKB, Lalu Hadrian Irfani, turut buka suara soal kasus dugaan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada
TRIBUNGORONTALO.COM – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PKB, Lalu Hadrian Irfani, turut buka suara soal kasus dugaan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mengutip pemberitaan KompasTV, Senin (14/4/2025), Hadrin mendesak pihak perguruan tinggi mencabut status guru besar apabila eks dosen UGM bersangkutan terbukti melecehkan mahasiswinya.
Sebagaimana diketahui, Edy Meiyanto, sempat dilaporkan oleh mahasiswa Fakultas Farmasi UGM.
Edy kini dicabut statusnya sebagai dosen Universitas Gadjah Mada.
Lewat rilis resmi UGM, Sabtu (6/4/2025), UGM sudah membebastugaskanEM dari kegiatan tridharma perguruan tinggi dan jabatan sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi.
Jabatan Terlapor selaku Ketua CCRC dicopot berdasarkan pada Keputusan Dekan Farmasi UGM pada 12 Juli 2024.
"Keputusan Dekan Farmasi ini ditetapkan jauh sebelum proses pemeriksaan selesai dan dijatuhkan sanksi kepada yang bersangkutan, untuk kepentingan para korban dan untuk memberikan jaminan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika di fakultas," tulis rilis resmi UGM.
Secara kronologis, Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM langsung menindaklanjuti laporan dari Fakultas Farmasi dengan pembentukan Komite Pemeriksa melalui Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 750/U N1.P/KPT/HUKOR/2024 .
Baca juga: Terungkap Penyebab Remaja Gorontalo Jatuh di Jembatan Potanga, Salsabilah Sempat Curhat dengan Teman
Berdasarkan temuan, catatan, dan bukti-bukti dalam proses pemeriksaan, Komite Pemeriksa menyimpulkan bahwa EM Guru Besar Farmasi UGM itu terbukti melakukan Tindakan Kekerasan Seksual yang melanggar Pasal 3 ayat (2) Huruf l Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023 dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023.
EM kemudian disebut juga terbukti telah melanggar kode etik dosen. Hasil putusan penjatuhan sanksi berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tentang Sanksi terhadap Dosen Fakultas Farmasi tertanggal 20 Januari 2025.
Hal ini dilakukan usai adanya laporan dugaan kekerasan seksual terhadap belasan mahasiswi UGM.
Korban Edy diperkirakan 13 mahasiswi.
Sosok EM
Guru besar fakultas farmasi UGM, EM diketahui memiliki segudang prestasi.
Disadur dari laman resmi UGM, EM merupakan lulusan asli UGM. Ia juga mengambil S2 di UGM.
Sementara gelar doktornya didapat dari universitas bergengsi Jepang, Molecular Oncology, Nara Institute Science and Technology (NAIST) Jepang.
Memiliki satu paten, EM juga pernah menjabat wakil dekan di Fakultas Farmasi UGM.
Keterangan UGM
Sebelumnya, Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, mengungkapkan bahwa laporan kasus ini pertama kali diterima pada tahun 2024 dan langsung diproses oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM.
“Jadi memang yang dilaporkan ke UGM itu di tahun 2024, dan proses pemeriksaannya itu dilakukan oleh Satgas PPKS,” kata Andi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (4/4/2025) dikutip dari Kompas.com.
Modus Melalui Bimbingan dan Diskusi
Satgas PPKS melibatkan berbagai unsur dalam pemeriksaan, termasuk dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, serta pengawas internal dan pihak fakultas.
Total 13 orang dimintai keterangan sebagai korban dan saksi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dugaan kekerasan seksual dilakukan sepanjang tahun 2023 hingga 2024.
EM diduga menggunakan modus pendekatan melalui kegiatan akademik, seperti diskusi, bimbingan, serta pembahasan lomba.
Sebagian besar pertemuan berlangsung di luar lingkungan kampus.
“Kalau dilihat (modusnya), ada diskusi, ada juga bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” jelas Andi.
“Lokasi kejadian itu berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagian memang dilakukan di luar kampus,” tambahnya.
Telah Dibebastugaskan sejak Pertengahan 2024
Berdasarkan hasil investigasi awal, EM telah dibebastugaskan sejak pertengahan tahun 2024 dari seluruh aktivitas akademik dan jabatan strukturalnya di kampus.
Ia juga dicopot dari posisi sebagai Kepala Laboratorium Biokimia Pascasarjana dan Kepala Cancer Chemoprevention Research Center di Fakultas Farmasi UGM.
“Sudah sejak pelaporan dari fakultas, itu sudah dibebastugaskan. Jadi pertengahan 2024 sudah dibebastugaskan sejak laporan dilakukan oleh pimpinan fakultas ke satgas,” terang Andi.
Pihak kampus menyatakan bahwa tindakan EM melanggar Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Sanksi Sedang hingga Berat, Menunggu Keputusan Final
Andi mengatakan, berdasarkan keputusan rektor, EM berpotensi dijatuhi sanksi sedang hingga berat, mulai dari skors hingga pemberhentian tetap.
“Keputusan rektornya itu menyebutkan yang bersangkutan untuk dikenai sanksi sedang sampai berat. Nah, sanksi sedang sampai berat itu mulai dari skorsing hingga pemberhentian tetap,” ujarnya.
Karena EM berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan juga Guru Besar, pemberian sanksi melibatkan koordinasi dengan tiga kementerian.
Namun, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada pimpinan perguruan tinggi.
“Oleh karena itu, kami setelah liburan Idul Fitri ini akan menetapkan keputusan itu,” kata Andi.
Status Guru Besar Menunggu Keputusan Kementerian
Mengenai status EM sebagai Guru Besar, Andi menegaskan bahwa kewenangan tersebut sepenuhnya berada di tangan pemerintah, dalam hal ini kementerian terkait.
“Harus dipahami, status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, khususnya kementerian. Jadi SK-nya itu keputusannya adalah kementerian. Oleh karena itu, kalau kemudian guru besarnya (dicabut), mau tidak mau, keputusannya harus dikeluarkan oleh kementerian. Tidak ada kewenangan itu ke UGM,” tegasnya.
UGM memastikan bahwa pendampingan kepada para korban masih terus dilakukan oleh Satgas PPKS. Evaluasi dilakukan secara berkala berdasarkan kondisi psikologis masing-masing korban.
“Masih. Itu kan juga kami lihat per case. Nah itu detailing, teman-teman dari Satgas PPKS masih terus mendampingi,” ucap Andi.
“Jadi kita lihat case-nya seperti apa. Kalau memang sudah membaik dan dipandang dari sisi psikologis dan psikis korban sudah membaik, ya kami kemudian menyatakan selesai.”
Artikel ini telah tayang di KompasTV dan Tribuntangerang.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.