Kasus Korupsi

Mahfud MD Heran Pemerintahan Prabowo-Gibran Ada Denda Damai untuk Koruptor: Itu Kan Salah

Mahfud MD merasa heran terhadap pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tentang kebijakan 'denda damai' untuk koruptor.

Editor: Fadri Kidjab
YouTube Kompas TV
Mahfud MD, eks Menko Polhukam 

TRIBUNGORONTALO.COM – Mahfud MD merasa heran terhadap pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tentang kebijakan 'denda damai' untuk koruptor.

Eks Menko Polhukam itu secara terang-terangan menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Yang ini lagi, gagasan Pak Prabowo untuk kemungkinan memberi maaf kepada koruptor asal mengaku secara diam-diam dan mengembalikan kepada negara secara diam-diam. Itu kan salah," kata Mahfud saat ditemui Tribunnews.com di kantor MMD Initiative Jakarta Pusat pada Kamis (26/12/2024).

"Undang-undang korupsi tidak membenarkan itu, hukum pidana tidak membenarkan itu," kata Mahfud.

 "Lalu menterinya mencari dalil pembenar. Itu kan ada di undang-undang kejaksaan, denda damai. Denda damai itu hanya untuk tindak pidana ekonomi."

"Sesuai dengan undang-undang tentang bea cukai, undang-undang perpajakan, dan undang-undang kepabeanan," lanjut dia.

Baca juga: Gorontalo Terpopuler: Promo Menarik Amaris & Grand Q Hotel, 10 Napi Dapat Remisi

Mahfud MD menilai, pemahaman Menteri Hukum Supratman Andi Agtas salah.

Kasus korupsi, lanjut dia, tidak pernah diselesaikan secara damai.

Bila kasus korupsi diselesaikan secara damai, kata Mahfud, sama dengan kolusi. 

"Mana ada korupsi diselesaikan secara damai? Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan," ungkapnya.

"Diselesaikan diam-diam antar penegak hukum, penegak hukumnya yang ditangkap. Kalau diselesaikan diam-diam. Kan banyak tuh yang terjadi. Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja," kata Mahfud.

Mahfud menjelaskan denda damai hanya bisa dilakukan dalam kasus terkait perpajakan atau kepabeanan. 

Mekanisme terkait denda damai itu, kata Mahfud juga sudah jelas dibuat oleh instansi terkait.

Mekanisme tersebut, lanjut dia, Kementerian Keuangan meminta izin kepada Kejaksaan Agung tidak secara diam-diam.

Baca juga: Prabowo Ingin Koruptor Kembalikan Kerugian Negara, Disertasi Doktoral Sahroni Bisa Jadi Referensi

"Nah sekarang dinaikkan kewenangan ini Jaksa Agung boleh menerapkan denda damai tanpa usul dari instansi terkait. Tetapi itu tetap tindak pidana ekonomi, yaitu untuk kepabeanan, untuk pajak, dan untuk bea cukai. Itu diatur di dalam pasal 35 undang-undang kejaksaan agung yang terbaru," ujar Mahfud.

"Dan itu jelas di dalam pasal 35 dan penjelasannya itu hanya untuk tindak pidana ekonomi tertentu. Korupsi enggak masuk. Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran. Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara," ucapnya. 

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi. 

Supratman menjelaskan meski Presiden RI Prabowo Subianto memiliki hak untuk memberikan grasi kepada koruptor, tetapi hal itu tetap melalui proses pengawasan Mahkamah Agung (MA).

 Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas. (Istimewa)
Sedangkan terkait amnesti, tetap melalui proses pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi," kata dia dalam keterangannya pada Kamis (26/12/2024).

Supratman juga menerangkan pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. 

Pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.

"Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan," ungkapnya.

"Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta," kata Supratman.

Dia juga mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif.

Baca juga: Rugikan Negara Rp300 Triliun, Harvey Moeis Divonis 6,5 Tahun Penjara dan Denda Rp1 M

Akan tetapi, lanjut dia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut. 

Sebelum perubahan UUD 1945, ungkapnya, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara bersifat absolut. 

Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kata dia, kekuasaan presiden tidak absolut. Untuk itu, Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.

"Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut," katanya.

Selain presiden, ungkpanya, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui denda damai. 

Sehingga, kata dia, baik presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.

“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.

Menurutnya, proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo

"Teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden," kata dia

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mahfud MD Soal Denda Damai ke Koruptor: Bisa Tapi Hanya untuk Pidana Ekonomi

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved