Tak Mampu Impor Bensin, Ini Penyebab Kebangkrutan Sri Lanka

Sri Lanka kehabisan stok bensin dan tidak memiliki dollar untuk mengimpor bahan bakar, kata perdana menteri baru Ranil Wickremesinghe.

Editor: Lodie Tombeg
Kompas.com/ISHARA S KODIKARA
Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa saat menandatangani dokumen dalam upacara penyumpahan di kuil sakral Budha Kelaniya Raja Maha, luar ibu kota Colombo, 9 Agustus 2020. PM Sri Lanka mundur pada Senin (9/5/2022) buntut dari krisis ekonomi parah dan demo besar yang melanda negara. 

1. Proyek mewah yang terbengkalai

Sri Lanka menghabiskan banyak uang untuk proyek infrastruktur yang dipertanyakan dari pinjaman China, menambah utangnya yang sudah menggunung.

Di distrik Hambantota, sebuah pelabuhan besar sudah menjadi beban keuangan sejak mulai beroperasi, dengan total kerugian kini mencapai 300 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun) dalam enam tahun.

Di dekatnya terdapat proyek mewah lain yang didukung China, yaitu pusat konferensi besar yang jarang dipakai sejak dibuka, dan bandara senilai 200 juta dollar AS (Rp 3 triliun) yang sempat kekurangan dana untuk membayar tagihan listriknya.

Proyek-proyek tersebut dibuat oleh keluarga Rajapaksa yang berkuasa, yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir 20 tahun terakhir.

2. Pemotongan pajak yang tidak stabil

Presiden Mahinda Rajapaksa didepak dari jabatannya pada 2015 karena reaksi terhadap upaya infrastruktur pemerintahnya, yang terjerat klaim korupsi.

Adik laki-lakinya, Gotabaya Rajapaksa, menggantikannya empat tahun kemudian dan menjanjikan bantuan ekonomi serta tindakan keras terhadap terorisme setelah serangan Minggu Paskah 2019 yang mematikan di Sri Lanka.

Beberapa hari setelah menjabat, Gotabaya menunjuk Mahinda sebagai perdana menteri dan mengumumkan pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka, sehingga memperburuk defisit anggaran kronis.

Lembaga pemeringkat langsung menurunkan peringkat negara itu karena khawatir utang publik semakin tidak terkendali, sehingga mempersulit pemerintah untuk mendapatkan pinjaman baru.

3. Pukulan pandemi

Pemotongan pajak sangat tidak tepat waktu, karena hanya beberapa bulan kemudian virus corona mulai menyebar ke seluruh dunia.

Kedatangan turis internasional turun menjadi nol dan pengiriman uang dari warga Sri Lanka yang bekerja di luar negeri mengering.

Parahnya, dua hal itu adalah pilar ekonomi yang diandalkan pemerintah untuk membayar utangnya.

Tanpa sumber-sumber uang tunai luar negeri ini, pemerintahan Rajapaksa mulai menggunakan cadangan devisanya untuk membayar pinjaman.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved