Kolonel Priyanto Sempat Ingin Bawa Handi dan Salsabila ke Rumah Sakit
Kasus pembunuhan berencana atas dua korban kecelakaan melibatkan Kolonel (Inf) Priyanto, akan menjalani sidang.
Jejak Bisa Dimakan Ikan atau Hilang Sama Sekali
Terdakwa kasus penabrakan sejoli Handi Saputra (17) dan Salsabila (14), Kolonel Inf Priyanto, mengungkapkan alasannya membuang tubuh Handi dan Salsa ke sungai.
Priyanto lebih memilih membuang Handi dan Salsa ke sungai daripada ke semak-semak atau hutan karena menurutnya jasad kedua sejoli tersebut bisa dimakan ikan sehingga tidak meninggalkan jejak.
Hal itu ia ungkap saat diperiksa sebagai terdakwa dalam lanjutan sidang di Pengadilan Militer Tinggi II, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (7/4/2022).
"Memang sudah muncul ide membuang di sungai, karena yang kami lewati tidak ada tempat pembuangan, kecuali sungai," kata Priyanto kepada majelis hakim. "Kok bisa muncul kenapa tidak dibuang ke semak-semak, dibuang di hutan?" tanya hakim.
"Saya berpikir kalau di sungai, (jejak) bisa ke laut, kemudian dimakan ikan, atau hilang sama sekali," ujar Priyanto. "Oh, jadi berpikir begitu? Kalau di darat?" tanya hakim.
"Di darat pasti ditemukan," jawab Priyanto. Priyanto mengaku sempat ingin membawa Handi dan Salsabila ke rumah sakit atau puskesmas terdekat usai menabrak keduanya. Saat kecelakaan, mobil dikemudikan oleh salah satu anak buah Priyanto, Kopda Andreas Dwi Atmoko.
Namun, saat itu, Dwi Atmoko merasa ketakutan dan tidak bisa lanjut menyetir. "Dia (Dwi) gemetar. Dia izin ke saya, 'Bapak bagaimana anak dan istri saya nasibnya,' sambil gemetar nyopir, kemudian karena gemetar dan dia nyopir tidak fokus, akhirnya saya gantikan," ujar Priyanto.
Setelah Priyanto mengambil alih kemudi, ide untuk membuang Handi dan Salsa pun muncul. Pasangan tersebut dalam keadaan tak sadarkan diri setelah kecelakaan. Salsa diyakini meninggal sesaat setelah kecelakaan, sedangkan Handi masih hidup.
Diberitakan sebelumnya, Priyanto dan dua anak buahnya membuang tubuh Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu usai menabrak sejoli tersebut di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 8 Desember 2021.
Priyanto bersama dua anak buahnya, Kopda Andreas Dwi Atmoko dan Koptu Ahmad Soleh, kemudian menjalani persidangan dan menjadi terdakwa.
Priyanto didakwa dengan dakwaan primer Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan Pidana, subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Ia juga didakwa subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Priyanto juga dikenai dakwaan subsider kedua Pasal 333 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Terakhir, Priyanto dikenai dakwaan subsider ketiga yaitu Pasal 181 KUHP tentang Mengubur, Menyembunyikan, Membawa Lari, atau Menghilangkan Mayat dengan Maksud Menyembunyikan Kematian.
Jika berpatokan dengan dakwaan primer, yaitu Pasal 340 KUHP, maka Priyanto terancam hukuman mati, seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Kecelakaan Sejoli di Nagreg, Kolonel Priyanto Akan Hadapi Pembacaan Tuntutan pada 21 April"