Ponpes Al Khoziny Ambruk

Korban Musala Ambruk di Ponpes Al Khoziny Bertambah Jadi 61 Jiwa, Dua Santri Masih Hilang

Tragedi runtuhnya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terus menyisakan duka mendalam.

Editor: Wawan Akuba
Bidang Komunikasi Kebencanaan / Danung Arifin
EVAKUASI -- Tim SAR gabungan membawa kantong berisi jenazah korban insiden musala pondok pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (6/10). 

TRIBUNGORONTALO.COM, Nasional — Tragedi runtuhnya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terus menyisakan duka mendalam.

Hingga Senin (6/10/2025) pukul 22.45 WIB, jumlah korban meninggal dunia bertambah menjadi 61 orang.

Angka itu tercatat setelah tim SAR gabungan menemukan 12 jenazah tambahan di bawah reruntuhan bangunan empat lantai.

Dari total korban meninggal, sebanyak 17 jenazah telah berhasil diidentifikasi oleh tim Disaster Victim Identification (DVI).

Seluruh jenazah telah diserahkan kepada keluarga atau wali santri untuk dimakamkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Data Terkini: 167 Korban Terdampak, Dua Santri Belum Ditemukan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Posko Penanganan Darurat mencatat jumlah keseluruhan korban terdampak mencapai 167 jiwa.

Dari jumlah tersebut, 165 orang telah ditemukan, termasuk tujuh potongan tubuh manusia yang saat ini tengah menjalani proses identifikasi di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.

Rinciannya, terdapat 104 korban selamat. Empat orang telah selesai menjalani perawatan, 99 orang masih dirawat, dan satu orang dinyatakan tidak memerlukan penanganan medis.

Sementara itu, berdasarkan daftar absensi pondok pesantren, dua santri masih dinyatakan hilang.

Musala yang ambruk diketahui baru berdiri sekitar 9–10 bulan sejak awal pengerjaan.

Bangunan tersebut terdiri dari tiga lantai dek tanpa genteng, dan proses pengecoran masih berlangsung saat insiden terjadi.

Menurut kesaksian santri Rizki Ramadhan (19), ia sedang melakukan pengecoran bersama pekerja lain di lantai atas ketika bangunan tiba-tiba ambruk.

Di saat bersamaan, sejumlah santri sedang melaksanakan salat Asar di lantai bawah.

Fakta bahwa santri ikut dalam proses pengecoran memicu sorotan publik.

Beberapa sumber menyebut bahwa keterlibatan santri dalam pekerjaan konstruksi diduga sebagai bentuk hukuman jika tidak mengikuti kegiatan pondok.

Pengasuh Ponpes Al Khoziny, Abdul Salam Mujib, membenarkan bahwa bangunan tersebut belum genap setahun berdiri.

“Sudah lama, sudah 9 sampai 10 bulan. Baru tiga dek terakhir jadi, enggak pakai genteng, langsung dek,” ujarnya.

BNPB sebelumnya merilis penyebab robohnya musala sebagai akibat dari kegagalan teknologi konstruksi.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Abdul Muhari, menekankan pentingnya pengawasan teknis dan penerapan standar keselamatan bangunan.

“Robohnya musala karena kegagalan teknologi. Masyarakat dan pengelola bangunan bertingkat diimbau untuk memastikan pengawasan teknis pembangunan agar kejadian serupa dapat dicegah,” ujarnya.

Tragedi ini disebut sebagai insiden dengan jumlah korban terbanyak sepanjang tahun 2025, bahkan melampaui bencana alam seperti banjir bandang di Bali dan Nagekeo, NTT.

Proses pembersihan puing-puing bangunan terus dilakukan dengan bantuan alat berat.

Kegiatan difokuskan pada sektor A1 dan A2, dengan tetap mengedepankan kehati-hatian karena reruntuhan terhubung langsung dengan bangunan lama di sisi sebelahnya.

Tim SAR gabungan yang terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, dan relawan lokal terus bekerja sepanjang malam untuk mempercepat proses evakuasi dan identifikasi korban.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved