Penulis Opini Adalah Para Mahasiswa Guru Pendidikan Anak Usia Dini FIP UNG
TRIBUNGORONTALO.COM - Modernisasi yang berkembang pesat dewasa ini telah membawa dampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, baik dalam segi positif maupun negatif.
Tantangan besar yang muncul sebagai konsekuensi dari modernisasi adalah terjadinya dekadensi moral di tengah masyarakat.
Fenomena ini ditandai dengan menurunnya nilai-nilai etika, akhlak, dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari, yang mengakibatkan krisis identitas, lunturnya rasa malu, serta menurunnya kepedulian sosial.
Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari dekadensi moral adalah meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak usia dini.
Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan sosial dan hukum, tetapi juga merupakan krisis kemanusiaan yang sangat mendalam.
Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa seharusnya mendapat perlindungan maksimal, namun justru menjadi korban dari lingkungan yang kehilangan kontrol moral.
Dalam pandangan Islam, kondisi ini mencerminkan hilangnya al-haya’ (rasa malu) yang merupakan bagian dari iman, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dari itu, Islam menekankan pentingnya menjaga akhlak sebagai pondasi utama dalam kehidupan pribadi dan sosial umat.
Arus globalisasi yang menyertai modernisasi membuat masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia, menghadapi tekanan budaya asing yang liberal dan sekuler.
Hal ini menimbulkan pergeseran nilai, termasuk dalam hal cara berpakaian, pergaulan, hingga cara mendidik anak.
Ketika nilai-nilai modern yang sekuler diterima tanpa penyaringan, maka dekadensi moral dan pergeseran norma agama menjadi tak terhindarkan. Islam sangat tegas dalam menolak segala bentuk kekerasan, terutama terhadap ana-anak.
Dalam konteks kekerasan seksual, Islam tidak hanya melihat dari aspek hukum, tetapi juga dari sisi pencegahan (preventif) dan pemulihan (rehabilitatif).
Sistem nilai Islam menempatkan anak sebagai makhluk suci yang harus dijaga kehormatannya, baik oleh
keluarga, masyarakat, maupun negara.
Tantangan modernisasi seperti kebebasan akses internet dan lemahnya kontrol sosial turut meningkatkan resiko anak-anak terpapar konten seksual atau menjadi korban kekerasan.
Dalam hal ini, Islam menekankan pentingnya konsep hisbah (pengawasan sosial) dan amar ma’ruf nahi munkar sebagai mekanisme kontrol moral masyarakat.
Selain itu, hukum Islam mendorong penerapan sanksi yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, termasuk melalui mekanisme ta’zir yang memberi wewenang kepada penguasa untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat pelanggaran.
Ini adalah bentuk perlindungan hukum syar’i yang mendukung upaya negara dalam menanggulangi krisis kekerasan seksual terhadap anak di era modern.
Provinsi Gorontalo tidak luput dari ancaman kekerasan seksual terhadap anak usia dini.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Gorontalo menyebutkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan terhadap kasus kekerasan seksual.
Pada tahun 2023, tercatat lebih dari 100 laporan kekerasan terhadap anak, di mana sekitar 60 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.
Bahkan, mayoritas korban berada pada rentang usia 5–12 tahun. Fenomena ini mengindikasikan darurat perlindungan anak di tingkat lokal.
Kasus-kasus yang muncul kerap melibatkan pelaku dari lingkungan dekat korban, seperti keluarga, tetangga, atau guru. Hal ini mempertegas bahwa bukan hanya sistem perlindungan anak yang perlu diperkuat, tetapi juga kesadaran moral dan pengawasan sosial masyarakat.
Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui DP3A dan lembaga perlindungan anak telah melakukan berbagai upaya, seperti sosialisasi dan kampanye antikekerasan seksual di sekolah dan masyarakat, Pembentukan Unit Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan Koordinasi dengan aparat hukum untuk menangani pelaku secara hukum.
Namun, upaya tersebut belum cukup efektif karena tidak disertai dengan penguatan peran keluarga dan tokoh agama dalam membina moralitas masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk membangun sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif.
Dalam konteks Gorontalo yang masyarakatnya mayoritas Muslim, pendekatan hukum Islam sangat relevan untuk diterapkan sebagai bagian dari solusi.
Islam tidak hanya mengatur hukuman terhadap pelaku, tetapi juga menanamkan nilai pencegahan melalui pendidikan akhlak, penguatan institusi keluarga, dan pemberdayaan masyarakat dalam menjaga moral lingkungan.
Konsep hisbah (pengawasan sosial) dan amar ma’ruf nahi munkar dapat dihidupkan kembali melalui peran aktif masjid, sekolah Islam, dan tokoh masyarakat.
Selain itu, penerapan nilai-nilai syariat dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk budaya malu dan hormat, yang menjadi benteng kuat bagi anakanak dari ancaman kekerasan seksual. (***)
Catatan: Artikel ini adalah tugas kelompok mata kuliah Agama dengan Dosen Dr Hj Nurhayati Tine, SPdI MHi
Tim Penulis :
Anisa Anggraini Hanapi
Anisa Putri Rahim
Asya Anggraini Langindara
Nindi Astuti
Nurfadilah Muthalib
Putri Desriyanti Ahmad
Sri Yunangsi Thalib
Wanda Ayu Lestari
Wintriyanti Sanawali