Artinya: "Dibolehkan meninggalkan puasa bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh dan diperbolehkan (mubah). Jika dengan berpuasa ia mengalami mudharat, maka berbuka lebih utama. Namun, jika tidak mengalami kesulitan, maka tetap berpuasa lebih utama." (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin, Juz 2, Hal. 161).
Baca juga: H-6 Lebaran, Terminal Dungingi Gorontalo Masih Sepi, Puncak Arus Mudik Diprediksi Tiga Hari Lagi
Senada dengan itu, dalam Mughnil Muhtaj karya Muhammad Khatib As-Syarbini juga disebutkan:
(وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا)
Artinya: "Jika seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, lalu sebelum terbit fajar ia telah melewati batas yang ditetapkan dalam bab shalat musafir, maka ia boleh berbuka. Jika tidak, maka ia tidak boleh berbuka." (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Juz 1, Hal. 589).
Wajib Mengganti Puasa Setelah Ramadhan
Meskipun diperbolehkan untuk tidak berpuasa saat dalam perjalanan jauh, Kiai AMA menekankan bahwa puasa yang ditinggalkan harus diganti setelah bulan Ramadhan.
Baca juga: Puluhan Warga Gorontalo Pilih Mudik dengan Bus Borlindo, Dianggap Nyaman dan Berfasilitas Mewah
"Maka memilih waktu yang tepat untuk mudik dan menyiapkan bekal selama perjalanan sangat penting. Selain itu, membekali diri dengan ilmu tentang tata cara ibadah selama perjalanan juga menjadi hal yang tidak kalah penting," kata Kiai Muiz.
Dengan demikian, bagi pemudik yang merasa mampu tetap berpuasa tanpa mengalami kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih utama.
Namun, bagi yang merasa perjalanan akan berat dan berisiko bagi kesehatannya, diperbolehkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di lain waktu. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com