TRIBUNGORONTALO.COM -- Diketahui, Lebaran 2025 tinggal beberapa hari.
Masyarakat yang ingin lebaran berkumpul bersama keluarga pastilah akan mudik.
Mudik biasanya untuk mereka yang merantau sehingga ketika libur lebaran akan kembali ke kampung halamannya.
Dilansir dari Kompas.com, Mudik atau pulang kampung menjadi tradisi tahunan masyarakat Indonesia menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Perjalanan ini dilakukan baik dalam jarak dekat maupun jauh.
Baca juga: Mudik Lebaran 2025, Tiket VIP dan Bisnis di Pelabuhan Ferry Gorontalo Ludes Terjual
Namun, muncul pertanyaan, apakah seseorang yang sedang dalam perjalanan mudik diperbolehkan untuk tidak berpuasa selama Ramadhan?
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Abdul Muiz Ali, memberikan penjelasan mengenai hal ini.
Menurut ulama yang akrab disapa Kiai AMA tersebut, seseorang yang melakukan perjalanan dengan jarak yang memenuhi ketentuan untuk menggabung (jamak) atau meringkas (qashar) shalat, diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Kiai AMA menjelaskan bahwa dalam Islam, seseorang yang sedang bepergian atau disebut musafir diperbolehkan untuk berbuka puasa.
Baca juga: Daftar 35 Nomor Darurat Wajib Disimpan di Ponsel, Terutama Saat Mudik Lebaran
Hal ini merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: "Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." (QS. Al-Baqarah: 185).
Selain Al-Qur'an, ketentuan ini juga dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.
Salah satunya dalam Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin karya Jalaludin Al-Mahali:
(وَيُبَاحُ تَرْكُهُ لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا)
Artinya: "Dibolehkan meninggalkan puasa bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh dan diperbolehkan (mubah). Jika dengan berpuasa ia mengalami mudharat, maka berbuka lebih utama. Namun, jika tidak mengalami kesulitan, maka tetap berpuasa lebih utama." (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin, Juz 2, Hal. 161).
Baca juga: H-6 Lebaran, Terminal Dungingi Gorontalo Masih Sepi, Puncak Arus Mudik Diprediksi Tiga Hari Lagi
Senada dengan itu, dalam Mughnil Muhtaj karya Muhammad Khatib As-Syarbini juga disebutkan:
(وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا)
Artinya: "Jika seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, lalu sebelum terbit fajar ia telah melewati batas yang ditetapkan dalam bab shalat musafir, maka ia boleh berbuka. Jika tidak, maka ia tidak boleh berbuka." (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Juz 1, Hal. 589).
Wajib Mengganti Puasa Setelah Ramadhan
Meskipun diperbolehkan untuk tidak berpuasa saat dalam perjalanan jauh, Kiai AMA menekankan bahwa puasa yang ditinggalkan harus diganti setelah bulan Ramadhan.
Baca juga: Puluhan Warga Gorontalo Pilih Mudik dengan Bus Borlindo, Dianggap Nyaman dan Berfasilitas Mewah
"Maka memilih waktu yang tepat untuk mudik dan menyiapkan bekal selama perjalanan sangat penting. Selain itu, membekali diri dengan ilmu tentang tata cara ibadah selama perjalanan juga menjadi hal yang tidak kalah penting," kata Kiai Muiz.
Dengan demikian, bagi pemudik yang merasa mampu tetap berpuasa tanpa mengalami kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih utama.
Namun, bagi yang merasa perjalanan akan berat dan berisiko bagi kesehatannya, diperbolehkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di lain waktu. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com