Berita Lingkungan

Jadi Rest Area Burung Migran dari Berbagai Negara, Kondisi Danau Limboto Gorontalo Disorot Aktivis

Setiap tahun, ribuan burung dari belahan utara bumi melakukan perjalanan ribuan kilometer melintasi langit dunia.

Penulis: Herjianto Tangahu | Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com/Herjianto
NGO Biodiversitas Gorontalo memantau burung Air Asia di Danau Limboto, Minggu (11/2/2024). 

TRIBUNGORONTALO.COM -- Setiap tahun, ribuan burung dari belahan utara bumi melakukan perjalanan ribuan kilometer melintasi langit dunia.

Mereka bukan sekadar terbang, melainkan sedang mencari tempat aman untuk bertahan hidup dari musim ekstrem di kutub utara.

Salah satu titik persinggahan penting mereka di Indonesia adalah Danau Limboto, Gorontalo.

Saat musim gugur tiba, antara Agustus hingga Oktober, Danau Limboto berubah menjadi rest area alami bagi para pengelana langit ini.

Mereka datang dari jauh, melintasi benua dan samudra, untuk sekadar singgah, makan, dan mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan hingga ke selatan Australia.

“Burung-burung ini bermigrasi untuk bertahan hidup. Ini adalah siklus tahunan yang sudah berlangsung selama ribuan tahun,” ungkap Rosyid Azhar, Sekretaris Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), Senin (9/6/2025).

Danau Limboto menjadi magnet karena kekayaan pangannya yang melimpah.

Lumpur dan vegetasi di sekitar danau menyediakan sumber makanan ideal, membuatnya menjadi bagian penting dari satu dari sembilan rute migrasi burung global.

Namun kini, rest area internasional ini menghadapi ancaman serius.

Proyek revitalisasi dan pengerukan danau justru menghilangkan lumpur yang selama ini menjadi sumber kehidupan burung.

“Danau Limboto termasuk salah satu dari 15 danau kritis di Indonesia,” jelas Rosyid.

Ia menyebut pengerukan tidak hanya merusak ekosistem air, tetapi juga mengusir spesies seperti Biru Laut Ekor Blorong, Mandar, Kuntul Kecil, dan lainnya yang biasanya singgah.

Data Asian Waterbird Census (AWC) 2024 mencatat sekitar 120 ekor burung migran masih terpantau di Danau Limboto.

Meski begitu, jumlah itu dianggap terus menurun akibat degradasi lingkungan.

Selain Danau Limboto, wilayah Gorontalo sebenarnya punya beberapa titik persinggahan.

Tapi menurut Rosyid, danau ini memiliki keunggulan: area terbuka dan mudah diamati dengan monokuler atau spotting scope.

Ajakan Menata Kota Ramah Burung

Dalam perayaan World Migratory Bird Day (WMBD) pada Minggu (8/6/2025), BIOTA menggelar pengamatan burung di lokasi tersebut.

Lewat kegiatan ini, mereka mengajak publik dan pemangku kebijakan merancang kota dan desa yang ramah terhadap satwa liar.

“Kita butuh ruang hidup bersama, tempat manusia dan satwa bisa hidup berdampingan,” tegas Rosyid.

Ia mendorong pembangunan hutan kota, ruang terbuka hijau, dan penghijauan area permukiman untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup burung migran.

“Tidak hanya bermanfaat bagi burung, tapi juga untuk kualitas hidup manusia,” tambahnya.

Danny Rogi, anggota BIOTA, menambahkan bahwa burung migran juga terancam oleh perencanaan kota yang buruk.

“Tata ruang yang tidak memperhatikan keberadaan burung bisa menyebabkan habitat hilang dan meningkatkan risiko kecelakaan, seperti burung menabrak bangunan kaca,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa burung bukan hanya bagian dari keanekaragaman hayati, tetapi indikator kesehatan lingkungan.

Sementara itu, Sjamsuddin Hadju dari Balai KSDA Wilayah II Gorontalo menyebut bahwa edukasi masyarakat menjadi kunci penting.

Ia prihatin karena praktik perburuan dan perusakan habitat masih sering terjadi.

“Tidak hanya burung migran yang terancam, burung-burung lokal pun ikut terdampak,” katanya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved