Berita Nasional
Surga Terakhir di Ujung Tanduk: Keberadaan Tambang Nikel Dicap Mengancam Raja Ampat
Tambang nikel disebut-sebut mulai merambah pulau-pulau kecil di kawasan ini, memicu gelombang protes dari warga lokal dan aktivis lingkungan.
TRIBUNGORONTALO.COM-Kawasan Raja Ampat, yang selama ini dikenal sebagai surga terakhir di Bumi karena kekayaan hayatinya yang luar biasa, kini menghadapi ancaman serius.
Tambang nikel disebut-sebut mulai merambah pulau-pulau kecil di kawasan ini, memicu gelombang protes dari warga lokal dan aktivis lingkungan.
Aksi protes mencuat dalam konferensi Indonesia Critical Minerals yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa (3/6).
Sejumlah warga Raja Ampat dan aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan spanduk bertuliskan Save Raja Ampat dan Nickel Mines Destroy Lives di tengah acara yang dihadiri Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno.
Namun aksi damai tersebut berujung ricuh. Para aktivis diusir dan bahkan diseret keluar oleh petugas keamanan. Di tengah keributan, teriakan Selamatkan Raja Ampat.
Menggema di ruang konferensi sebuah seruan yang mencerminkan keresahan mendalam atas nasib kawasan yang selama ini dijaga ketat dari eksploitasi.
Baca juga: Trik Licik Supraptini, Nenek Tipu Toko Emas di Sragen Rp29,6 Juta, Padahal 2 Kali Masuk Penjara
Lantas Ada Apa dengan Raja Ampat?
Greenpeace dalam siaran pers yang diterima Tribun membenarkan insiden tersebut.
Menurut mereka setelah Sulawesi, Halmahera, dan pulau kecil seperti Obi, tambang nikel kini juga mengincar Raja Ampat (Pulau Gag, Kawe, dan Manuran). Setidaknya 500 Hektare hutan mulai musnah.
Padahal menurut UU Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan ini tak boleh ditambang.
Sebenarnya aktivis Greenpeace dan warga Raja Ampat, Papua melakukan aksi damai untuk menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang membawa nestapa bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Bukan hanya di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi.
Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran.
Greenpeace dalam aksinya tersebut sebenarnya ingin mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel yang meriung di acara tersebut, serta kepada publik, bahwa tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah telah membawa derita bagi masyarakat terdampak.
Industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal. Industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, Rabu(4/6/2025).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.