Hikmah Ramadan 2025

Hikmah Ramadan: Tips Merawat Kemambruran Puasa dari Khauf ke Khasyyah

Ikhauf dan khasyah dapat diartikan dengan takut di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi di dalam Bahasa Arab, keduanya dapat dibedakan pengertiannya.

Tribunnews
HIKMAH RAMADAN - Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA memberika tips Merawat Kemambruran Puasa dari Khauf ke Khasyyah. Ikhauf dan khasyah dapat diartikan dengan takut di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi di dalam Bahasa Arab, keduanya dapat dibedakan pengertiannya. 

TRIBUNGORONTALO.COM-Tribunners!!! tak terasa kita telah melewati 15 hari bulan Ramadan 1446 H, tidak terasa kita telah memasuki Ramadan ke-16. 

Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA memberika tips Merawat Kemambruran Puasa dari Khauf ke Khasyyah.

Ikhauf dan khasyah dapat diartikan dengan takut di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi di dalam Bahasa Arab, keduanya dapat dibedakan pengertiannya.

Bahasa Arab merupakan bahasa yang sangat kaya dengan kosa kata (mufradat). Itulah sebabnya ada kesulitan di dalam menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa apapun. 

Bahasa Arabnya “cinta” ada 14 kosa kata, mulai dari cinta monyet sampai pada cinta Ilahi. Akan tetapi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia semuanya bisa diartikan dengan cinta. 

Contoh lain, kata “jika” padanannya di dalam bahasa Arab ada tiga kosa kata, yaitu: idza, lau, dan in.

Baca juga: BREAKING NEWS: Abubakar Abimanyu Jadi Tersangka Korupsi Revitalisasi Kawasan Kota Tua Gorontalo 

Jika suatu keadaan yang digambarkan 99,9 persen kemungkinannya akan terjadi maka digunakan kata idza.

Sebaliknya jika suatu keadaan 99,9 % kemungkinannya tidak akan terjadi maka digunakan kata lau. Jika separuh-separuh kemungkinannya akan terjadi maka digunakan kata in. 

Contoh lain, duduk yang tadinya berdiri kosa kata Arabnya jalasa dan duduk yang tadinya tidur kosa kata Arabnya qa’ada. Kata jalasa dan qa’ada keduanya diindonesiakan dengan kata duduk.

Kata khauf yang berasal dari akar kata khafa berarti takut, tetapi objek yang ditakuti itu adalah makhluk seperti harimau, ular, tsunami, gempa bumi, hantu, dll.

Contoh penggunaannya di dalam Alquran ialah: “Berkata Yakub; "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya." (Q.S. Yusuf/12:13).   Objek yang ditakuti dalam ayat ini ialah srigala, karena itu digunakan kata akhafa.

Sedangkan kata khasyyah berasal dari akar kata khasya berarti takut, tetapi obyek yang ditakuti itu ialah Sang Khaliq, Allah SWT. Seperti dinyatakan di dalam Al-Qur’an:

”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”

Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. al-Nisa’/4:9).

Objek yang ditakuti dalam ayat ini ialah Allah SWT, karena itu digunakan kata walyakhsya.

Baca juga: Hikmah Ramadan: Tips Merawat Kemabruran Puasa dari Taubat Inabah ke Taubat Istijabah

Perbedaan kedua kosa kata itu juga mengisyaratkan perbedaan sikap. Jika ingin selamat dari obyek yang ditakuti dalam kata kauf, maka kita harus menjauhi objek itu.

Misalnya jika ingin selamat dari harimau atau tsunami jauhi obyek itu, karena jika dekat maka terancam bahaya mematikan.

Sebaliknya jika ingin selamat dari objek yang ditakuti dalam kata khasyyah, maka kita harus mendekati objek yang ditakuti itu.

Jika kita menjauhi Tuhan pasti kita akan binasa. Tegasnya jika ingin selamat dari objek yang ditakuti (makhluk) jauhi obyek itu. Jika ingin selamat dari objek yang ditakuti (Khaliq), dekati obyek itu.

Banyak di antara kita belum cerdas mencari penyelamatan diri dari objek yang ditakuti. Jika ingin selamat dari siksa neraka maka seharusnya kita menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti perzinahan, pembunuhan, korupsi, dan penzaliman.

Dengan demikian kita akan selamat dari siksa neraka. Sebaliknya jika kita mendambakan syurga maka kita harus mendekati sedekat-dekatnya Allah Swt sebagai objek yang ditakuti. 

Idealnya, kita di dalam mengabdikan diri kepada Allah Swt betul-betul tanpa pamrih. Tidak berharap surga atau  berlindung kepada-Nya agar tidak masuk neraka, tetapi semata-mata kita lakukan pengabdian karena Allah SWT, sebagaimana di dalam ikrar kita: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya karena Allah SWT”.

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved