Info Tekno

TikTok Melawan Pemerintah AS di Pengadilan Karena Disebut Menjadi Antek China

Dalam sidang tersebut, TikTok berargumen bahwa undang-undang yang berpotensi melarang platform ini dalam beberapa bulan mendatang tidak konstitusional

|
Penulis: Redaksi | Editor: Wawan Akuba
AP
FILE - Gedung TikTok Inc. terlihat di Culver City, California, pada 17 Maret 2023. 

TRIBUNGORONTALO.COM -- TikTok kembali menjadi sorotan ketika menghadapi pemerintah AS di pengadilan federal pada hari Senin. 

Dalam sidang tersebut, TikTok berargumen bahwa undang-undang yang berpotensi melarang platform ini dalam beberapa bulan mendatang tidak konstitusional. 

Sementara itu, Departemen Kehakiman menegaskan bahwa langkah tersebut sangat penting untuk mengatasi ancaman keamanan nasional yang ditimbulkan oleh perusahaan media sosial yang populer ini.

Pengacara dari kedua belah pihak, serta perwakilan pembuat konten, hadir di hadapan tiga hakim di Pengadilan Banding Federal Washington.

TikTok dan perusahaan induknya yang berbasis di China, ByteDance, menentang undang-undang yang memaksa mereka untuk memutuskan hubungan sebelum pertengahan Januari 2024, atau kehilangan salah satu pasar terbesarnya.

Andrew Pincus, pengacara senior yang mewakili TikTok dan ByteDance, mengkritik undang-undang tersebut.

Menurutnya, hal ini tidak hanya menargetkan TikTok secara tidak adil, tetapi juga melanggar Amandemen Pertama.

Sebab, sesuai UU setempat, karena TikTok Inc., yang beroperasi di AS, adalah perusahaan Amerika. 

Seorang pengacara lain yang mewakili para kreator konten menambahkan bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berbicara warga AS.

Seperti halnya melarang orang Amerika menerbitkan di media asing seperti Politico atau Al Jazeera.

"Undang-undang ini belum pernah ada sebelumnya, dan dampaknya akan sangat besar," tegas Pincus, yang menilai undang-undang ini memberlakukan pembatasan berdasarkan risiko yang belum terbukti.

Undang-undang ini, yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada bulan April, adalah puncak dari perdebatan panjang di Washington terkait aplikasi berbagi video pendek yang dianggap pemerintah sebagai ancaman keamanan nasional karena hubungannya dengan China.

Pemerintah AS mengkhawatirkan data pengguna TikTok, termasuk informasi sensitif mengenai kebiasaan menonton, yang bisa diserahkan kepada pemerintah China melalui paksaan.

Algoritma TikTok yang menentukan konten pengguna juga dinilai rentan terhadap manipulasi oleh otoritas China, yang bisa memanfaatkan platform ini untuk memengaruhi opini publik tanpa terdeteksi.

Pengacara Departemen Kehakiman, Daniel Tenny, menegaskan bahwa pengumpulan data memang penting bagi banyak perusahaan untuk keperluan komersial, seperti iklan yang ditargetkan.

Namun, ia memperingatkan bahwa data yang sama sangat berharga bagi pihak asing yang berniat merusak keamanan AS.

"Masalahnya, data ini juga bisa dimanfaatkan oleh musuh asing untuk mengganggu keamanan Amerika Serikat," kata Tenny.

Pincus membantah, menyatakan bahwa Kongres seharusnya lebih memilih untuk mengungkapkan potensi propaganda di TikTok daripada mengejar pendekatan ekstrem berupa pemisahan atau pelarangan.

Dia juga menunjukkan bahwa sebelum undang-undang ini disahkan, beberapa anggota Kongres termotivasi oleh persepsi bahwa ada ketidakseimbangan antara konten pro-Palestina dan pro-Israel selama konflik di Gaza.

Namun, para hakim yang terdiri dari dua yang diangkat oleh Partai Republik dan satu dari Demokrat, mempertanyakan apakah pemerintah AS memiliki hak untuk membatasi perusahaan media yang berpengaruh, terutama yang dikendalikan oleh entitas asing dari negara musuh.

Mereka juga menyoroti apakah argumen ini relevan dalam situasi di mana AS sedang berperang.

Hakim Neomi Rao, yang diangkat oleh mantan Presiden Donald Trump, mengatakan bahwa para kreator konten masih dapat terus berkarya di TikTok jika perusahaan ini dijual atau mereka beralih ke platform lain.

Namun, Jeffrey Fisher, pengacara para kreator, menolak argumen ini dengan menekankan bahwa TikTok unik dalam gaya, fitur, dan audiens yang dicapai, sehingga tidak ada platform lain yang setara.

Selama paruh kedua sidang, panel hakim juga mempertanyakan Departemen Kehakiman tentang tantangan Amandemen Pertama terhadap undang-undang tersebut.

Hakim Sri Srinivasan, yang diangkat oleh mantan Presiden Barack Obama, mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mengendalikan manipulasi konten menimbulkan kekhawatiran besar bagi kebebasan berbicara.

TikTok sendiri berulang kali membantah berbagi data pengguna AS dengan pemerintah China dan menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut belum pernah terbukti.

Dalam gugatan hukum mereka, TikTok dan ByteDance mengklaim bahwa pemisahan tidak mungkin dilakukan.

Bahkan jika terjadi, mereka mengatakan TikTok akan kehilangan teknologi intinya, menjadikannya hanya bayangan dari platform sebelumnya.

Meskipun alasan utama pemerintah untuk undang-undang ini telah dipublikasikan, beberapa dokumen pengadilan yang diajukan masih dirahasiakan dan disunting.

Salah satu dokumen yang disunting menyebutkan bahwa TikTok diduga mengikuti perintah pemerintah China terkait konten di platformnya, meski belum ada rincian spesifik tentang kapan dan mengapa hal tersebut terjadi.

Pemerintah AS menegaskan bahwa mereka tidak perlu menunggu sampai terjadi sesuatu yang merugikan sebelum merespons ancaman yang ada.

Namun, perusahaan-perusahaan menilai pemerintah dapat memilih pendekatan yang lebih terarah untuk mengatasi masalah ini tanpa melanggar kebebasan berbicara.

Pertarungan hukum ini menambah babak baru dalam kisah panjang TikTok dengan pemerintah AS, dan hasilnya bisa berdampak besar bagi masa depan aplikasi ini di Amerika.(*)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved