Khazanah Islam

Apakah Wajib Sebutan Haji untuk Orang Selesai Ibadah Haji? Begini Kata MUI

Hal itu ketika Halilintar Anofial Asmid mengoreksi pembawa acara karena tak menyebut haji ketika mengundang Atta Halilintar ke atas panggung.

Editor: Fadri Kidjab
Tribunnews/Bahaudin/MCH2019
ILUSTRASI jemaah haji Indonesia saat melaksanakan ibadah haji 

TRIBUNGORONTALO.COM – Beberapa waktu lalu sempat ramai di media sosial soal gelar 'Pak Haji'.

Hal itu ketika Halilintar Anofial Asmid mengoreksi pembawa acara karena tak menyebut haji ketika mengundang Atta Halilintar ke atas panggung.

Video unggahan tersebut lantas viral dan telah berkali-kali dibagikan di beragam paltform sosial media.

Lantas, apakah seseorang wajib dipanggil Haji setelah melaksanakan ibadah haji?

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Miftahul Huda menjelaskan, dalam syariat agama Islam, sebenarnya tidak ada gelar khusus untuk orang yang telah berhaji.

Haji dalam Islam merupakan bagian dari rukun Islam, tepatnya rukun kelima. Orang yang menjalankan empat rukun Islam lain pun tidak memiliki gelar atau panggilan khusus.

"Orang yang selesai melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh kan tidak pernah dipanggil Bapak Shaum (puasa)," jelasnya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/6/2024).

Demikian pula dengan orang yang sudah membayar zakat, tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan Bapak Muzakki.

Meskipun, menurut Miftahul, dalam dunia zakat memang ada istilah muzakki yang memiliki arti "orang yang menunaikan zakat".

Namun, Miftahul melanjutkan, ibadah haji mempunyai makna tersendiri dalam budaya muslim Indonesia.
Gelar atau panggilan Haji bukan sekadar mengandung makna kebanggaan, tetapi juga mencerminkan pencapaian spiritual yang besar dalam kehidupan seorang muslim.

"Dalam masyarakat Indonesia, orang yang dipanggil Pak Haji atau Ibu Haji, tidak hanya sebagai penghormatan terkait status sosial yang tinggi dan dihargai, tetapi juga menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan perjalanan spiritual yang sangat penting dalam agama Islam," terangnya.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI ini menilai, panggilan Haji di Tanah Air memiliki sisi positif dan negatif, terutama bagi orang yang baru saja melaksanakan rukun Islam kelima.

Sisi positifnya, gelar Haji secara khusus akan mengingatkan jemaah untuk terus menjadi teladan dalam kebaikan.

Dengan demikian, secara tidak langsung, panggilan Pak Haji atau Bu Hajah merupakan salah satu cara mempertahankan nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat.

Sisi negatifnya, panggilan Haji mungkin akan menjerumuskan muslim dalam sifat yang merugikan, seperti sifat membanggakan diri.

"Akhirnya kesombongan dapat merusak jiwa hajinya yang semestinya orang yang sudah berhaji harus semakin rendah hati dan tidak merasa tinggi hati pada orang lain," tutur Miftahul.

Asal-usul gelar Haji, pemberian Belanda sebagai penanda

Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri mengungkapkan, penyematan gelar Haji semula hanya ada di Indonesia.

"Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (24/5/2023).

Gelar Haji kemudian berkembang di daerah Melayu, terutama di Brunei Darussalam dan Malaysia.
Syamsul menerangkan, panggilan Haji dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hindia Belanda mengesahkannya.

Kendati demikian, penyematan gelar ini secara resmi dan formal baru dilakukan pada 1916, dengan dasar aturan Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903.

"Jadi bedakan gelar formal Haji sekarang pakai H, dengan Haji sebagai panggilan. Kalau panggilan, sejak zaman kuno pun sudah ada," ungkapnya.

Menurut Syamsul, pemerintah kolonial menyematkan gelar Haji untuk menandai mereka yang kemungkinan terkontaminasi paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme.

Pan-Islamisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.

Konsep dasar Pan-Islamisme ini dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19 Masehi.

Paham ini bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat muslim menggelar ibadah haji.

Apalagi, kata Syamsul, orang beribadah haji pada zaman dulu menghabiskan waktu sangat lama hingga bertahun-tahun.

"Karena di sana sambil mengaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," ujarnya.

Seiring menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.

"Musuh Belanda dua, komunis dan Pan-Islam, yang membahayakan kolonial. Para Haji dicurigai terkontaminasi pikiran Pan-Islamisme ketika di Mekkah, maka gelar Haji menjadi penting bagi Belanda," paparnya. (*)

 

(TribunGorontalo.com/Kompas.com)


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Baru Pulang dari Ibadah Haji, Apakah Wajib Dipanggil "Pak Haji"?

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved