Berita Pohuwato
Ribuan Burung Maleo Hidup dalam Kurun Waktu 15 Tahun di Cagar Alam Panua Pohuwato
Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort cagar alam Panua, saat ini jumlah burung maleo mencapai 5 ribuan.
Penulis: Rahman Halid | Editor: Fadri Kidjab
TRIBUNGORONTALO.COM, Pohuwato - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort cagar alam Panua mengungkapkan saat ini jumlah burung maleo mencapai 5 ribuan selama kurun waktu 15 tahun.
"Sesuai data fisik kami jumlah burung maleo di tahun 2008 600 lebih, sehingga kalau di kalkulasi sampai dengan tahun 2023 mencapai 5 ribu lebih untuk indukannya," kata Tatang Abdullah Kepala Resort Tanjung Panjang Kabupaten Pohuwato kepada TribunGorontalo.com, Rabu (3/1/2024).
"Dari beberapa tempat penangkaran sekitar 700 lebih telah ditangkarkan. Selebihnya telur dari burung Maleo yang masih sementara proses dipindahkan," imbuhnya.
Saat ini, lanjut Tatang, sebaran dari burung Maleo berada di hamparan hutan mangrove Pohuwato dengan luas lahan kurang lebih 36.575 hektare (ha).
"Setelah kami data, sebaran Burung Maleo berada di kawasan Hutan mangrove Pohuwato cukup luas, sehingga habibatnya perlu di relokasi semaksimal mungkin untuk indukannya," jelasnya.
Terdapat delapan penangkaran burung maleo di mangrove pohuwato yang digunakan untuk relokasi telur dan penetasan.
"Karena telur burung maleo sangat sensitif, sehingga perlu adanya pemindahan sementara sebelum di pindahkan ke habitatnya," tutupnya.
Baca juga: Angka Pengangguran Sulit Turun, Disnakertrans: Orang Gorontalo Suka Pilih-pilih Kerja
Puluhan Siswa di Gorontalo Mengenal Burung Maleo
Balai Taman Nasional Bogani Nani wartabone, Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia dan Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA) mengajak puluhan siswa mengenal lebih dekat satwa liar, burung maleo.
Para penyuluh WCS memberikan pemahaman mengenai satwa endemik Sulawesi, bertepatan Hari Maleo Sedunia pada Selasa (21/11/2023).
Para siswa SDN 2 Suwawa Timur itu diketahui merupakan warga Desa Tulabolo dan Tulabolo Barat.
Desa ini menjadi desa penyangga kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Sekitar 50 siswa asyik belajar sambil bermain di luar ruangan. Mereka dipersilakan menggambar burung bernama latin Macrocephalon Maleo tersebut.
"Kami memulai dengan membuat tes awal ke siswa untuk mengetahui pemahaman satwa liar di hutan, hewan ternak dan hewan peliharaan," ucap Arif Rahman, anggota WCS IP.
Dalam tes itu, para siswa harus mengidentifikasi apakah maleo merupakan satwa liar atau hewan peliharaan.
Siswa-siswi itu diberi kebebasan berekspresi termasuk berbahasa lokal.
Rata-rata siswa menggunakan bahasa Suwawa ketika mengerjakan tugasnya.
Ada yang langsung mengenali burung maleo tapi menulisnya dalam istilah lokal.
Namun beberapa lainnya mengaku sama sekali tak mengenali nama burung maleo.
Baca juga: Ternyata Mitos! Benteng Otanaha Terbuat dari Kapur Bukan Putih Telur Burung Maleo
Usai mengikuti rangkaian tes awal berupa identifikasi hewa, kini siswa diajak dalam sesi tanya jawab atau kuis.
Penyuluh Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Diah Ayu Lestari, menjelaskan fungsi hutan melalui gambar atau foto.
Cara ini dinilai efektif karena mudah dipahami dan diingat oleh para pelajar.
Selain itu, para siswa dikenalkan kehidupan alam liar dalam film dokumenter pendek.
Di dalam film itu merekam aktivitas dan kebiasaan burung maleo saat bertelur.
Setelah itu para siswa diajak bermain di halaman sekolah yang ditutupi rumput, beragam permainan disuguhkan untuk mengajak para siswa bergembira.
Permainan semakin seru saat badut maleo muncul di Tengah lapangan. Siswa diminta untuk melindungi maleo ini dari kejaran pemburu.
Mereka membuat barikade untuk melindungi maleo dari kejaran para pemburu, setiap pemburu mendekati maleo para siswa membuat barisan rapat agar maleo tidak dibunuh.
Permainan berakhir saat matahari sudah meninggi. Para siswa diajak kembali ke dalam ruangan untuk menerima materi dan mengikuti tes akhir.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.