Opini

Bagaimana Hukum Memandang Bunuh Diri?

Ketika melihatnya dari perspektif hukum, terdapat berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan termasuk legalitas tanggung jawab pihak laiN

Editor: Fadri Kidjab
TribunGorontalo.com
Muhammad Furqon S.H M.H, Konsultan Hukum 

Penulis Opini: Muhammad Furqon S.H M.H, Konsultan Hukum

Bunuh diri adalah tindakan yang tragis dan kompleks. Ketika melihatnya dari perspektif hukum, terdapat berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan termasuk legalitas tanggung jawab pihak lain, serta implikasi sosial dan kesehatan mental.

Tulisan ini akan memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana pandangan hukum terhadap peristiwa bunuh diri.

Indonesia sendiri memiliki kerangka hukum yang kompleks yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk tindakan bunuh diri.

Hukum positif di Indonesia mengacu pada undang-undang, peraturan-peraturan, dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur tindakan dan perilaku masyarakat.

Di dalam hukum positif Indonesia secara jelas termaktub pada Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) pada BAB XV pasal 304.

Baca juga: Psikolog Christy Nainggolan Ungkap 50 Persen Mahasiswa Gorontalo Punya Ide Bunuh Diri

"Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". (Ali Salmande dalam artikel berjudul apa hukumnya membiarkan mantan pacar bunuh diri).

Mengutip penjelasan R Soesilo dalam bukunya yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal", dijelaskan bahwa Pasal 304 KUHP menghukum orang yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang lain dalam kondisi
kesengsaraan, padahal ia memiliki kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut berdasarkan hukum yang berlaku atau perjanjian.

Misalnya, orangtua membiarkan anaknya dalam keadaan sengsara, demikian pula wali terhadap anak yang diasuhnya.

Sedangkan, orang kaya membiarkan saudara kandungnya dalam sengsara, tidak dikenakan pasal ini, karena menurut hukum dia tidak diwajibkan untuk menyokongnya. Demikian menurut R. Soesilo.

Dalam pandangan hukum pidana, terdapat dua teori yang umumnya dikenal, yaitu teori "'conditio sine qua non dan teori 'adequat.

Menurut R, Sianturi dalam bukunya yang berjudul "Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya", 'conditio sine qua non' dapat dijelaskan sebagai suatu peristiwa atau keadaan yang biasanya menjadi akibat dari beberapa peristiwa, keadaan, atau faktor yang saling terkait sebagai suatu rangkaian.

Sementara, dalam teori 'adequat, yang bisa dimintai pertanggung jawaban pidana hanyalah orang yang terlibat langsung atas peristiwa pidana tersebut.

Dalam praktiknya, hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan lebih sering menggunakan teori adequat.

Alasannya, teori ini dianggap lebih logis dibanding teori conditio sine qua non yang berpotensi dapat menjerat siapa saja melakukan tindak pidana, padahal tidak memiliki keterkaitan langsung dengan peristiwa pidana tersebut.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, seseorang tidak dapat dituntut pidana karena menjadi alasan bunuh dirinya orang lain. la bukanlah orang yang terlibat langsung terhadap kematian seseorang. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved