Dirjen Nakes Kemenkes RI Tanggapi Polemik RUU Kesehatan

Saat ditemui TribunGorontalo.com, Senin (10/4/2023) di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGo), Dirjen Tenaga Kesehatan, Arianti Anaya

|
TribunGorontalo.com
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI, Drg Arianti Anaya (kiri) saat berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Senin (10/4/2023). 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI menanggapi polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. 

Saat ditemui TribunGorontalo.com, Senin (10/4/2023) di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGo), Dirjen Tenaga Kesehatan, Arianti Anaya menyatakan beberapa pihak tentang kekurangan omnibus law tidak sepenuhnya benar.

"Yang mungkin belum dipahami bahwa yang hilang itu sebenarnya nanti kita taruh di turunannya," terang Arianti Anaya.

Sejauh ini PB IDI secara konsisten mengamati draft RUU Kesehatan (Omnibus Law) sejak tahun 2022.

Menurutnya, PB IDI tidak mengerti alasan fundamentalsistematis sampai RUU Kesehatan bisa diterbitka secara resmi.

Hingga saat ini PB IDI berusaha mengkaji secara mendalam dan komprehensif terhadap naskah RUU Kesehatan tersebut.

Sebelumnya diketahui, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melancarkan protes serta mengusulkan pembahasan RUU Kesehatan.

"Menyatakan nota protes dan memohon agar pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law) dihentikan dan atau tidak diteruskan. Apalagi sampai kepada Pengesahan dalam rapat Pembahasan di Tingkat (TK)-II," jelas Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangan resmi, seperti dilansir TribunGorontalo.com dari Kompas TV, Senin (10/4/2023).

Ia menilai adanya hak imunitas tenaga kesehatan dalam omnibus lawa tersebut bisa berdampak pada patient safety.

"Apabila hak imunitas ini kemudian tidak didapatkan, maka begitu akan banyak para tenaga medis tenaga kesehatan dengan mudah untuk masuk ke dalam permasalahan hukum," ujar dia.

Memang menurutnya, sosok dokter yang melayani masyarakat harus memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh undang-undang.

Akan tetapi, mereka menentang apabila peran organisasi profesi sebagai penjaga profesinya dalam memberikan sebuah perlindungan hukum itu dihilangkan.

Tak hanya itu, masyarakat pun akan merasakan biaya pelayanan kesehatan semakin tinggi karena potensi resiko hukum.

Dan hal ini, lanjut Adib, menjadi paradoks jika dikaitkan program Jaminan Kesehatan Nasional dalam penerapan efisiensi pembiayaan.

Ia pun berharap, penolakan RUU Kesehatan (Omnibus Law) bisa menjadi perhatian serius.

RUU Kesehatan ini secara umum dinilai berdampak pada terganggunya stabilitas nasional, terutama pelayanan publik di bidang kesehatan untuk masyarakat.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved