Kasus Oknum ASN Gorontalo
Wanita Gorontalo Dipaksa Pacar Layani Nafsu Teman-Temannya, Pelaku Diduga Oknum ASN
Seorang ibu di Kota Gorontalo melaporkan dugaan kekerasan seksual terhadap anaknya yang masih di bawah umur.
Penulis: Jefry Potabuga | Editor: Wawan Akuba
Ringkasan Berita:
- Pelaku diduga sebagai oknum aparatur sipil negara (ASN) Gorontalo Utara dan merupakan lulusan sekolah elit
- Korban mengalami kekerasan seksual berulang sejak awal tahun 2025.
- Korban melapor dan telah diterima oleh Polda Gorontalo pada 26 Mei 2025
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Seorang ibu di Kota Gorontalo melaporkan dugaan kekerasan seksual terhadap anaknya yang masih di bawah umur.
Laporan tersebut telah diterima oleh Polda Gorontalo pada 26 Mei 2025 dan kini tengah ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Pelaku diduga sebagai oknum aparatur sipil negara (ASN) Gorontalo Utara dan merupakan lulusan sekolah elit khusus pegawai.
Sementara pelaku lainnya adalah dua pria yang merupakan teman pelaku utama.
Dalam wawancara dengan Tribun Gorontalo pada Jumat (7/11/2025), ibu korban berinisial Y mengungkapkan bahwa anaknya mengalami kekerasan seksual berulang sejak awal tahun 2025.
Baca juga: Binte Biluhuta jadi Primadona di Festival Kuliner Gorontalo, Peserta Peran Saka Nasional Ketagihan
Korban awalnya menjalin hubungan asmara dengan pelaku utama, namun hubungan tersebut berubah menjadi jerat manipulatif.
Korban dipaksa melayani nafsu pelaku, bahkan diminta untuk tidak menolak saat pelaku mengajak dua temannya ikut melakukan tindakan yang sama.
Peristiwa ini terjadi berulang kali di berbagai lokasi, termasuk penginapan, kos-kosan, dan mobil pribadi pelaku.
“Yang saya tahu kejadian itu terjadi dari bulan Februari 2025 sampai dengan bulan puasa. Mereka melakukan itu berulang kali,” jelas Y.
Korban mengaku diancam agar tidak melawan, bahkan dijanjikan akan dinikahi sebagai bentuk “tanggung jawab”. Namun, ancaman dan tekanan terus berlanjut.
“Anak saya dipaksa, dia diancam. Katanya pelaku mau tanggung jawab, tapi malah ngajak teman-temannya,” ujar sang ibu.
Modus Kekerasan: Pijat, Kunci Kamar, dan Ancaman
Pendamping hukum korban, Tia Badaru, menjelaskan bahwa salah satu kejadian terjadi di indekos saat bulan puasa.
Korban diminta menunggu pelaku dengan alasan akan dipijat. Setelah itu, pelaku dan tukang pijat mengunci pintu kamar, mengambil ponsel korban, dan memaksa korban membuka pakaian.
“Handphone korban diambil, mulutnya ditutup, lalu mereka bilang buka bajunya dan langsung melakukan tindakan itu,” tegas Tia.
Modus serupa dilakukan berulang kali dengan orang yang berbeda. Korban tidak berani melapor karena takut dan merasa terikat secara emosional karena status pacaran.
“Mereka main bertiga. Anak ini takut melapor, dan karena baru pacaran, dia pikir itu bentuk kasih sayang,” tambahnya.
Mahar, Pertemuan Keluarga, dan Pembatalan Pernikahan
Setelah korban mulai menunjukkan tanda-tanda frustasi, keluarga pelaku dan korban sempat bertemu di sebuah rumah makan untuk membahas pemberian mahar.
Dalam pertemuan itu, korban mulai memberontak dan mengungkapkan bahwa dirinya telah dipaksa melayani pelaku dan teman-temannya.
Namun, saat pemberian mahar berlangsung, keluarga korban belum mengetahui bahwa anak mereka telah menjadi korban kekerasan seksual.
“Pas pemberian mahar itu, orang tua belum tahu anaknya sudah diapa-apain,” jelas Tia.
Pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh kedua orang tua korban, orang tua pelaku, notaris, pelaku, dan korban.
Menurut Tia, ada permintaan dari keluarga pelaku agar tidak melibatkan keluarga lain.
Setelah pertemuan, korban sempat berbicara dengan pelaku dan meminta agar perbuatan tersebut tidak diulangi.
Namun, jawaban pelaku justru membuat korban semakin tertekan.
“Pelaku bilang, ‘Tidak apa-apa, hanya sekali-kali boleh,’” ucap Tia menirukan pengakuan korban.
Korban kemudian melarikan diri dari rumah dan tinggal di salah satu kos-kosan. Di sanalah seluruh kejadian mulai terbongkar.
Keluarga korban pun membatalkan rencana pernikahan dan melaporkan kasus ini ke Polda Gorontalo.
Laporan Balik: Keluarga Korban Jadi Tersangka Penggelapan Mahar
Tak lama setelah laporan kekerasan seksual dilayangkan, keluarga pelaku justru melaporkan balik keluarga korban ke Polresta Gorontalo Kota atas tuduhan penggelapan mahar sebesar Rp100 juta.
Ayah korban, I, mengaku terkejut saat dirinya ditetapkan sebagai tersangka.
Ia menegaskan bahwa uang tersebut adalah mahar dalam prosesi adat pernikahan, bukan pinjaman atau titipan.
“Uang itu kami pakai untuk persiapan. Kami gunakan untuk pernikahan. Itu kan pemberian, bukan titipan. Herannya kami malah dilaporkan penggelapan,” tegas I.
I juga mengungkapkan bahwa sebagian dana telah digunakan untuk membuat kue dan kebutuhan acara, bahkan keluarga pelaku sempat menerima dua toples kue hasil dari uang tersebut.
Yang membuat I heran, proses hukum terhadap dirinya berjalan lebih cepat dibanding laporan mereka ke Polda.
“Kami heran karena cepat sekali prosesnya. Tidak sampai satu bulan kami langsung jadi tersangka,” ujar I.
IS kini tengah bersiap memenuhi panggilan kedua dari penyidik Polres Gorontalo Kota pada Senin (10/11/2025).
Ia juga telah meminta waktu untuk menghadirkan saksi yang mengetahui bahwa uang tersebut memang mahar, bukan pinjaman.
“Saya sudah minta supaya saksi bisa saya hadirkan. Tapi sebelum itu, surat penetapan tersangka sudah keluar,” ungkapnya.
Keluarga korban berharap proses hukum berjalan transparan dan penyidik dapat menilai kembali duduk perkara yang sebenarnya.
Mereka meminta agar fokus utama tetap pada dugaan kekerasan seksual terhadap anak mereka, bukan hanya pada persoalan mahar.
Hingga berita ini ditulis, awak media masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait untuk mendapatkan klarifikasi lebih lanjut.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/gorontalo/foto/bank/originals/ILUSTRASI-Wanita-menutup-wajahnya-Seorang-wanita-di-Gorontalo.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.