PPN 12 Persen

Gerindra Sebut PDIP 'Drama' Tolak PPN 12 Persen, Padahal Dalangnya

Penulis: Redaksi
Editor: Wawan Akuba
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/11/2024).

TRIBUNGORONTALO.COM -- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyoroti sikap kritis PDI-P terhadap kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Menurutnya, sikap tersebut terkesan kontradiktif, mengingat PDI-P adalah partai yang memimpin pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) di DPR.

Pembahasan itu dilakukan oleh kader PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, yang menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).

"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDI-P berbicara di rapat paripurna dan tiba-tiba menyampaikan penolakan mereka terhadap PPN 12 persen," ujar Rahayu dalam pesan singkat kepada Kompas.com, Sabtu (21/12/2024) malam.

Rahayu, yang juga merupakan keponakan Presiden RI Prabowo Subianto, mengungkapkan bahwa anggota Gerindra saat itu hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala mendengar pernyataan PDI-P tersebut.

"Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya. Padahal mereka yang menjadi Ketua Panja RUU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak, kenapa tidak dilakukan saat mereka memimpin Panja?" tegasnya.

RUU HPP, yang telah disahkan menjadi undang-undang, mengubah sejumlah ketentuan dalam beberapa regulasi lain, termasuk UU KUP, UU Pajak Penghasilan, UU PPN, UU Cukai, dan UU Cipta Kerja. UU ini terdiri dari 9 bab dan 19 pasal.

Dolfie Othniel Frederic Palit, kader PDI-P sekaligus Ketua Panja RUU HPP, sebelumnya menyatakan bahwa pembahasan beleid ini dilakukan atas dasar surat presiden serta keputusan pimpinan DPR RI pada 22 Juni 2021.

Dalam pembahasan, hampir semua fraksi di DPR, termasuk PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP, menyetujui rancangan tersebut. Hanya Fraksi PKS yang menolak.

PKS menyebut kenaikan PPN menjadi 12 persen kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi nasional.

Selain itu, PKS juga menolak program pengungkapan sukarela harta wajib pajak (tax amnesty), sebagaimana yang pernah mereka tolak pada pelaksanaan pertama di tahun 2016.

Sementara itu, PDI-P menyatakan dukungannya terhadap RUU HPP dengan alasan memperhatikan aspirasi pelaku UMKM.

Dolfie menegaskan bahwa kebutuhan bahan pokok masyarakat, jasa pendidikan, jasa kesehatan, transportasi darat, dan layanan keuangan akan tetap dibebaskan dari pengenaan PPN.

"Namun kini, PDI-P justru bersikap seolah menentang kebijakan yang mereka setujui sendiri saat memimpin Panja. Ini jelas mengundang tanda tanya besar," pungkas Rahayu. (*)