TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Anggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gorontalo rupanya tidak cukup jika harus digunakan untuk menggaji aparatur desa.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Kepala Badan Keuangan Pemda Gorontalo, Arianto Manan saat dikonfirmasi TribunGorontalo.com, Kamis (05/12/2024).
Menurutnya, anggaran yang ada saat ini, hanya habis untuk alokasi diantaranya gaji ASN, Kepala Daerah, DPRD, serta pembayaran BPJS.
Meksipun anggaran tidak cukup, namun saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Gorontalo, mengaku akan berupaya membayar gaji aparatur desa.
Perlu diketahui, bahwa sejak Oktober 2024, aparatur desa di Kabupaten Gorontalo belum gajian lantara tak ada alokasi anggaran tersebut.
Namun menurut Arianto, pihaknya mengusahakan pembayaran itu melalui anggaran yang ada di kas daerah.
Tetapi lagi-lagi aparatur desa harus gigit jari, lantaran pembayaran itu hanya bisa dilakukan untuk satu bulan, yakni Oktober 2024.
"Kami sudah upayakan bulan Oktober, dan sudah mulai penandatangan (pencairan) sekarang," katanya.
Sisanya untuk November dan Desember, Pemkab Gorontalo masih akan melihat jumlah dana di kas daerah. Artinya, belum ada kepastian di bulan ini apartur desa, gajian.
Arianto sendiri menjelaskan, bahwa kendala pembayaran ini akibat adanya regulasi yang berubah dari pemerintah pusat.
Pemkab Gorontalo sebetulnya mendapat kucuran dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp 721 miliar per tahun.
Namun, melalui regulasi terbaru, rupanya Pemkab Gorontalo tidak bisa menentukan mengelola sepenuhnya anggaran ini.
Sebab, sebesar 30 persen dari anggaran itu sudah ditentukan langsung dari pusat.
"Sekarang sudah diatur hampir 30 persen digunakan untuk dana yang sudah ditentukan penggunaanya," jelasnya.
Artinya kata dia, dari Rp 721 miliar itu, yang bisa digunakan bebas oleh Pemkab Gorontalo hanya sebesar Rp 500 miliar.
Masalanya adalah, alokasi anggaran untuk aparatu desa tidak bisa diakomodir di dalam Rp 500 miliar tersebut.
"Jadi dari Rp721 miliyiar, tinggal Rp500 miliyar sekian yang bisa digunakan Pemda untuk membayar gaji," ungkapnya.
Arianto menegaskan, sejak diterbitkannya undang-undang nomor 1 tahun 2022, DAU sudah ditentukan alokasinya dari pusat.
"Dulunya diserahkan ke Pemda untuk mengaturnya, sekarang sudah tidak begitu. Sekarang sudah dibagi dua," bebernya.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa gaji perangkat desa di Indonesia telah diatur secara tegas melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019.
PP ini merupakan revisi dari PP Nomor 43 Tahun 2014, yang menjadi pedoman pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam Pasal 81 PP tersebut, penghasilan tetap untuk kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD).
Dari seluruh perangkat desa, sekretaris desa mendapat gaji tertinggi. Berdasarkan regulasi, gaji minimal sekretaris desa adalah Rp2.224.420 per bulan, setara dengan 110 persen dari gaji pokok PNS golongan IIa.
Di beberapa kabupaten dan kota, posisi sekretaris desa telah ditetapkan sebagai jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang memberikan status lebih tinggi dibanding perangkat desa lainnya.
Sementara itu, perangkat desa di luar sekretaris desa mendapatkan gaji minimal sebesar Rp2.022.200 per bulan, setara dengan 100 persen gaji pokok PNS golongan IIa.
Jika dibandingkan, gaji kepala desa sendiri ditetapkan sedikit lebih tinggi, yaitu Rp2.426.640 per bulan.
Tidak hanya bergantung pada gaji tetap, perangkat desa juga berpotensi mendapatkan pendapatan lain, seperti yang diatur dalam Pasal 100 PP Nomor 11 Tahun 2019.
Menariknya, gaji perangkat desa bisa lebih tinggi dari angka minimal yang ditetapkan PP Nomor 11 Tahun 2019, tergantung kebijakan masing-masing daerah.
Dalam hal ini, bupati atau wali kota memiliki kewenangan untuk menentukan tunjangan tambahan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah.(*)