TRIBUNGORONTALO.COM -- Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi sorotan publik terkait besaran tunjangan perumahan bagi anggota legislatif yang mencapai Rp 50 juta per bulan.
Ia menyebut angka tersebut telah melalui proses kajian mendalam, namun tetap membuka kemungkinan untuk dievaluasi jika dinilai belum ideal.
Menurut Puan, tunjangan tersebut diperhitungkan untuk 580 anggota DPR dari 38 provinsi yang berkantor di Jakarta.
“Angka itu sudah disesuaikan dengan kondisi harga sewa hunian di ibu kota,” ujarnya usai menghadiri rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (21/8/2025).
Meski menyebut keputusan itu telah ditelaah secara administratif, Puan menegaskan bahwa pimpinan DPR tetap mendengar aspirasi masyarakat.
Ia mendorong publik untuk aktif mengawasi kinerja para wakil rakyat.
“Kalau memang ada yang dirasa belum tepat, kami terbuka untuk melakukan evaluasi,” tambahnya.
Isu tunjangan rumah ini mencuat setelah DPR RI periode 2024–2029 tidak lagi menerima fasilitas rumah jabatan anggota (RJA).
Sebagai gantinya, mereka memperoleh tunjangan perumahan yang masuk dalam komponen gaji bulanan.
Kebijakan ini membuat pendapatan bersih anggota DPR meningkat signifikan.
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa rumah jabatan di Kalibata, Jakarta Selatan, sudah tidak layak huni.
Bangunan tua, kerusakan struktural, dan biaya pemeliharaan yang tinggi menjadi alasan utama penghapusan fasilitas tersebut.
“Kami menerima banyak keluhan soal kebocoran dan gangguan air dari sungai yang melintasi kawasan itu,” kata Indra, Senin (18/8/2025).
Indra menambahkan bahwa keputusan untuk mengganti rumah jabatan dengan tunjangan telah dibahas dalam rapat pimpinan DPR periode sebelumnya.
Usulan tersebut kemudian disetujui oleh Kementerian Keuangan pada Agustus 2024, dengan nominal tunjangan sekitar Rp 50 juta setelah pajak.
Penetapan angka itu mengacu pada standar tunjangan perumahan DPRD DKI Jakarta.
Kebijakan ini memicu perdebatan di ruang publik, terutama karena dianggap tidak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran negara.
Beberapa pihak menilai angka Rp 50 juta terlalu tinggi, sementara lainnya menyebutnya wajar mengingat biaya hidup dan sewa properti di Jakarta. (*)