OPINI

Retrospeksi: Standar Ganda Penilaian Membunuh Pendidikan Berkeadilan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi standar ganda.

Penulis: Pramono Pido, Fellowship The Sanglah Institute

ANDA pasti pernah mendengar sebuah anekdot tentang seorang ibu dan anak pertamanya yang sedang bersama-sama mencuci mangkuk, dan piring di dapur.

Sementara ayah, dan anak keduanya yang sedang menonton TV di ruang tamu dikagetkan oleh suara piring pecah dari arah dapur, sebentar kemudian suasana menjadi senyap.

Tidak terdengar suara apapun setelah itu. Si anak kedua memandang ayahnya dengan tatapan serius lalu berkata “pasti ibu yang memecahkan piring”, ayahnya menanyai balik perkataan itu “bagaimana kamu tahu?” jawaban dari si anak “karena tidak terdengar suara dia memarahi orang lain…”

Sikap si ibu jika anak pertamanya yang memecahkan piring, dia akan marah hingga urat syarafnya bermunculan di wajah, namun bila anak keduanya yang memecahkan piring si ibu akan menasehatinya dengan lemah lembut.

Dan jika si ibu sendiri yang memecahkan piring dia akan diam kehilangan bahasa seolah semuanya wajar-wajar saja, hanya satu yang pecah masih tersisa banyak.

Maaf, ini bukan soal ibu atau ayah yang kita semua muliakan, atau sebuah keluarga entitas kita mencari kehangatan.

Bukan, tapi ilustrasi di atas adalah apa yang disebut standar ganda, secara preskriptif KBBI memberi definisi “ukuran yang dipakai sebagai patokan sesuatu yang bersifat mendua” dalam menilai suatu kejadian atau peristiwa, atau apapun itu yang sedang terjadi.

Bayangkan bagaimana jika hal yang sama diberlakukan juga di dunia pendidikan terutama di dalam institusinya? Tempat di mana mestinya klausul objektivitas dijunjung setinggi-tingginya. Baik dalam sikap maupun berpikir.

Pramoednya Ananta Mastoer seorang sastrawan yang pemikiran-pemikirannya mengejawantah melalui banyak karyanya yang sampai saat ini masih dipakai sebagai bahan diskursus kesusateraan Indonesia, integral sebagai simpul dari simpai-simpai yang mengokohkan bangunan kongkrit gambaran pendidikan kita mengujarkan “seorang terpelajar harus juga belajar adil sudah sejak dalam pikiran apalagi perbuatan” itu pula yang menyebabkan dia menyingkirkan “Mas” diakhir “Mastoer” untuk menghilangkan kesan aristokrasi yang disandangnya pada zaman ia hidup, untuk mengingatkan perlawanan terhadap penyingkiran bermotif diskriminasi, tidak dengan alibi apapun.

Akan begitu tragis jika hal yang sama juga ditemukan, atau pun dapat disaksikan di dalam lingkungan yang sewajarnya netral subjektifitas karena bukan bagian warisan milik pribadi atau kelompok tertentu.

Kalau si A yang bikin kesalahan hantam hingga tak tersisa apa-apa darinya, atau sisakan saja nafas untuk dia bertahan hidup. Si B yang bikin salah, buatkan pembelaan sedemikian rupa, jika perlu datangkan David Copperfield (Copperfield pernah menghilangkan patung Liberty dan tidak ada yang harus heran dengan itu karena dia memang adalah pesulap legendaris) untuk menyulap semuanya sehingga kesalahan itu terlihat sah-sah saja (ingat pemeo ilmu sapu jagat).

Demikian pula dengan penghargaan, jika A membuat sesuatu yang terbilang prestasi, jangan diakui, apalagi diapresiasi. Namun jika B yang membuat sesuatu yang sebenarnya wajar saja manipulasi itu menjadi sesuatu yang mewah kalau perlu melebihi si A meskipun fakta tidak demikian adanya.

Dalam sudut pandang kelembagaan pemimpin bisa saja terjebak dalam standar ganda ketika mengambil sikap. Parahnya, dapat dilaterbelakngi oleh faktor yang bukan menjadi standar dalam petunjuk yang harusnya ditempuh kalaupun harus mengambil langkah diskresi ketika menyikapi sesuatu.

Apa jadinya kebiasaan ini disengaja menjadi “kultur” lingkaran orang-orang di dalam lembaga pendidikan di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri yang mengalaminya atau pula kita adalah salah satu tokoh persis di dalam anekdot di atas, entah kita yang menjadi ibu, anak pertama, atau anak kedua?

Alumni seperti apa yang dihasilkan dari produk suasana pendidikan semacam itu? Bagaimana dengan esensi “tut wuri handayani”? berkat kepeloporan orang dibalik taman siswa akhirnya diproklamirkan sebagai semboyan Hari Pendidikan Nasional yang baru-baru ini kita rayakan penuh suka cita? Jawabannya hanya bisa kita lihat melalui retrospeksi, lakukanlah.