Gerakan melawan Pancasila ini tidak hanya berpotensi pada disintegrasi bangsa, ideologi-ideologi tandingan tersebut juga telah banyak memakan korban jiwa, seperti yang tercatat dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Proses perumusan Pancasila bukanlah tanpa silang pendapat, bahwa sempat terjadi perdebatan ketika kelompok Islam tertentu ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila.
Tapi justru perdebatan itu telah melahirkan sebuah ideologi yang merangkul segenap perbedaan. Perbedaan memang sebuah keniscayaan di negeri yang Bhineka, Pancasila harus menjadi ideologi yang mampu merangkul segenap keberagaman untuk tetap bersatu dalam bingkai NKRI.
Suandi Silalahi (2022) menngutif dalam buku "Mencapai Indonesia Merdeka," Soekarno sudah menuliskan dan menyuarakan dengan lantang bahwa kemerdekaan, kemerdekaan politik tak lain daripada jembatan, suatu jembatan emas yang di seberangnya kita akan membangun masyarakat kita sendiri.
Dengan beranjak dari karya intelektualnya 1933 ini, maka Soekarno mengutarakan rangkaian-rangkaian yang hendak sebagai dasar filosofi Indonesia merdeka; Nasionalisme Indonesia atau kebangsaan Indonesia, sekali lagi bukanlah nasionalisme yang sempit, tetapi dalam artian semua yang tinggal mempunyai hak terhadap Indonesia sebagai tanah airnya, orang Jawa, orang Sumatra, orang Sunda, dan etnik lainnya sebagai rakyat Indonesia).
Perikemanusiaan (persaudaraan dunia, sebagai negara yang sudah ada nasionalisme yang sudah merdeka, maka hendaklah menuju kekeluargaan bangsa-bangsa di dunia).
Bahwa sejarah mencatat, tiada satupun bangsa di dunia ini bisa bangkit dan berkembang tanpa roh kebangsaan atau tanpa dasar filosofi yang dinamis dan dialektis.
Pancasila sebagai dasar negara memberikan pedoman bagi masyarakat yang beragam untuk berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila merupakan pandang. (*)