Berita Kota Gorontalo

Baru Setengah Tahun, Pajak Kuliner Kota Gorontalo Sudah Tembus Rp 11 Miliar

Badan Keuangan Kota Gorontalo mencatat, hingga 26 Juli 2025, realisasi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Makanan dan Minuman

Penulis: Herjianto Tangahu | Editor: Wawan Akuba
TribunGorontalo.com
FOTO STOK -- Potret sebuah rumah makan di Kota Gorontalo. Ini adalah salah satu objek pajak. 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo — Badan Keuangan Kota Gorontalo mencatat, hingga 26 Juli 2025, realisasi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Makanan dan Minuman sudah mencapai Rp 11,68 miliar dari target Rp 19,39 miliar tahun ini.

Artinya, lebih dari 60 persen target sudah tercapai, padahal tahun masih menyisakan lima bulan lagi.

"Tiap tahun target kita naikkan berdasarkan realisasi tahun sebelumnya,” kata Kepala Bidang Pendapatan Badan Keuangan Kota Gorontalo, Yanto Kadir, Selasa (29/7/2025).

Yanto mengatakan, rumah makan, kafe, restoran, dan warkop di Kota Gorontalo semakin menjamur.

"Setiap tahun Badan Keuangan melakukan analisis jumlah usaha makanan di Kota Gorontalo," imbuhnya.

Namun, ia juga mengakui bahwa pertumbuhan usaha kuliner ini sebagian besar masih dalam skala UMKM, yang belum tentu dikenai pajak.

"Harus diakui ada banyak usaha makan dan minuman baru dalam skala UMKM. Kuliner dan jajanan di Kota Gorontalo tumbuh cukup bagus, namun tidak semua mereka dikenakan pajak," terangnnya. 

Meski banyak usaha yang tumbuh, tidak semua bisa langsung menjadi objek pajak. 

Yanto menegaskan bahwa penetapan pajak didasarkan pada omzet usaha setiap bulannya.

"Jadi ketentuan terkait dengan pengenaan pajak pada satu objek itu, pendapatan lebih dari Rp 2 juta sebulan," ungkap Yanto. 

Namun, ia menambahkan, omzet bukan satu-satunya penentu. Masih ada variabel lain yang jadi pertimbangan.

"Namun tidak serta merta setelah penghasilannya sudah Rp 2 juta lantas sudah wajib pajak. Pasalnya ada beberapa hal yang patut dijadikan pertimbangan," ucap Yanto. 

Pemungutan PBJT Makanan dan Minuman ini sendiri diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 

Sistem pungutnya juga tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui mekanisme self-assessment.

"Ini model pemungutannya adalah self assesment, artinya kepercayaan penuh diberikan kepada wajib pajak untuk melaporkan dan membayarkan pajak itu," bebernya.

Namun, untuk menjaga akurasi dan kejujuran pelaporan, Badan Keuangan tetap aktif melakukan pengawasan.

"Namun tentu Badan Keuangan tetap melakukan pengawasan rutin apakah laporan dari wajib pajak sesuai dengan kondisi di lapangan. Setiap hari kita pantau, kita akan bandingan dengan penyetoran yang dilakukan," jelasnya. 

Di lapangan, Badan Keuangan menemukan fakta menarik, ada beberapa kafe yang sangat ramai dengan pengunjung, namun kontribusi pajaknya rendah. Mengapa?

"Beberapa kafe justru menjadi tempat orang berkerumun, frekuensi orang duduk lebih lama daripada apa yang ia beli," ungkap Yanto. 

"Sebagai contoh orang yang datang membeli makanan dan minuman, namun ia menetap lama, memang ramai tapi transaksi yang terjadi hanya sekali saja," bebernya. 

Dengan fakta ini, tidak serta merta melihat tempat itu ramai kemudian kita vonis transaksinya banyak. 

Fenomena ini menurut Yanto banyak terjadi di warung kopi yang menyediakan wifi gratis. 

Berbeda dengan restoran di pusat perbelanjaan, di mana pengunjung datang hanya untuk makan lalu pergi.

Saat ini, potensi usaha kuliner di Kota Gorontalo disebut cukup besar. Namun dari ratusan yang ada, baru sekitar 300-an yang tercatat sebagai wajib pajak PBJT.

"Di Kota Gorontalo ada banyak potensi PBJT makanan dan Minuman, namun yang baru terdata di badan Keuangan Kota Gorontalo baru sekitar 300 an," ungkapnya. 

Mengapa masih sedikit yang terdata? Jawabannya bukan soal teknis, melainkan soal pola pikir.

"Kendala paling besar dalam pemungutan ini adalah merubah mindset pengusaha, itu yang salah," imbuhnya. 

Yanto menekankan, pajak ini sebenarnya tidak dibebankan kepada pemilik usaha, melainkan kepada konsumen yang menikmati jasa makanan dan minuman itu.

Sebenernya kata dia pajak tersebut memang dikhususkan untuk siapapun yang ingin menikmati jasa layanan yang diberikan.


"Bukan pengusaha makanan atau minuman yang bayar, tetapi orang yang makan dan minum yang mereka sebenarnya adalah yang menikmati jasa," pungkasnya. (*/Jian) 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved