Sosok Tokoh
Jejak 10 Tahun Ciputra di Gorontalo, Masa Kecil di Pesisir Paguat sampai Berburu di Dengilo
Gorontalo bukan sekadar tempat persinggahan bagi Dr. (H.C.) Ir. Ciputra, pengusaha properti ternama dan pendiri Ciputra Group.
Penulis: Wawan Akuba | Editor: Wawan Akuba
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo – Gorontalo tidak pernah menjadi latar belakang yang sekadar lewat dalam perjalanan hidup Ciputra.
Tempat ini justru menjadi ruang pertama yang mempertemukannya dengan luka, kesederhanaan, dan pilihan-pilihan yang kelak menjadikannya sosok besar bernama Dr. (H.C.) Ir. Ciputra.
Sebelum dikenal sebagai maestro properti Indonesia, anak bernama Tjie Tjin Hoan lebih dulu menjadi "Nyong", bocah kecil yang belajar hidup dari kegagalan dan kehilangan.
Rumah Kayu di Siendeng, Awal Sebuah Kenangan
Segalanya bermula dari keputusan sang kakek untuk meninggalkan kampung halamannya di Fujian, China.
Bersama keluarga, ia menempuh pelayaran panjang menuju Gorontalo sekitar awal tahun 1900-an.
Tjie Siem Po, ayah Ciputra, masih berusia sekitar sepuluh tahun saat itu.
Setelah dewasa, Siem Po menikahi seorang perempuan bernama Lie Eng Nio.
Mereka tinggal di kawasan Siendeng, Kecamatan Hulonthalangi. Di sanalah, sebuah rumah kayu berdiri, menjadi tempat lahirnya kenangan awal keluarga ini.
Rumah itu pernah berdiri kokoh, sebelum akhirnya rata dengan tanah sekitar tahun 2022. Kini, lahan itu menjadi lapangan sepak bola di samping sebuah Indomaret.
Ciputra lahir bukan di Gorontalo, melainkan di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 24 Agustus 1931.
Namun ketika usianya menginjak enam tahun, ia dan kakaknya, Ako, dikirim naik kapal ke Gorontalo.
Tujuannya jelas: sekolah. Mereka tinggal bersama kakek, nenek tiri, dan para adik tiri ayahnya di Jalan Sutoyo—bersebelahan dengan lokasi Kantor KONI Provinsi Gorontalo saat ini.
Bukannya mendapat kenyamanan, hari-hari Ciputra justru diwarnai perlakuan keras dari tante tirinya.
Sebuah kondisi yang tak hanya menyakitkan, tetapi juga menekan.
Ketika duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, Ciputra tidak naik kelas.
Tahun 1938 atau 1939 menjadi titik pahit. Ia merasa gagal.
Pesisir Paguat dan Sekolah yang Didirikan Ayah
Tak lama kemudian, Parigi diguncang bencana. Tsunami dan gempa membuat keluarga Ciputra memutuskan pindah ke Gorontalo.
Mereka menetap di wilayah pesisir, tepatnya di Desa Bumbulan, sekarang termasuk wilayah Desa Pentadu, Kecamatan Paguat, Pohuwato.
Letaknya berada tepat di depan pasar tua yang kini tak lagi digunakan.
Ayah dan ibunya mengajak Ciputra tinggal di rumah sederhana di kampung nelayan.
Lingkungan yang sunyi menjadi saksi masa rehat Ciputra dari sekolah. Ia menganggur lebih dari setahun. Merasa tertinggal, bahkan tak berguna.
Melihat kondisi itu, sang ayah mengambil inisiatif. Ia bersama rekan-rekannya mendirikan sekolah Tionghoa swasta.
Bukan gedung besar, hanya ruang belajar bagi sepuluh anak perantau. Ciputra menjadi salah satu muridnya.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Tahun 1943, tentara Jepang menangkap ayahnya.
Ia dibawa dengan kapal menuju Manado. Dua tahun kemudian, Jepang menyerah.
Beberapa warga yang ikut ditahan kembali ke kampung. Tapi Tjie Siem Po tak pernah kembali.
Kabar duka datang: ia meninggal karena sakit perut hebat dalam tahanan. Ciputra baru berusia 13 tahun saat kehilangan ayahnya.
Setelah sang ayah tiada, roda kehidupan berubah drastis. Ibunya tak sanggup melanjutkan usaha toko kelontong yang dirintis suaminya.
Pilihan satu-satunya adalah kembali ke tanah milik keluarga, sebuah kebun kecil di Desa Popaya, sekitar tujuh kilometer dari Bumbulan.
Popaya, yang dulu bagian dari Kecamatan Paguat, kini berada dalam wilayah Kecamatan Dengilo.
Di tempat ini, Ciputra dan ibunya hidup dalam kesederhanaan ekstrem.
Mereka hanya memiliki dua ekor sapi dan sebidang tanah setengah hektar.
Hasil panen seadanya menjadi andalan. Lauk sehari-hari pun hanya sayuran dari kebun.
Daging atau protein lain menjadi kemewahan yang nyaris tak tersentuh.
Namun Popaya tak hanya menyuguhkan kemiskinan. Seorang pria bernama Om Gugu, pemburu dari komunitas Sangir Talaud, memperkenalkan Ciputra pada dunia berburu babi hutan.
Mereka melintasi hutan bersama 17 ekor anjing, menyusuri jejak babi, dan menyusun strategi seperti sekelompok prajurit liar.
Dari perburuan itu, Ciputra tak hanya belajar ketangkasan, tetapi juga mengenal nilai kerja sama dan agama Kristen.
Pada usia 15 tahun, Ciputra merasa waktunya tiba untuk kembali belajar.
Ia meninggalkan kebun dan menuju Kota Gorontalo. Perjalanan tak mudah.
Bendinya rusak di tengah jalan, memaksanya menumpang kapal dagang bernama "Zwarte Hond".
Sebelum sampai ke kota, ia menyempatkan membeli sepatu. Ukurannya terlalu besar, namun tak jadi soal.
Sepatu itu bukan sekadar alas kaki, melainkan simbol tekad baru. Ia berjuang untuk diterima di SMP Negeri Gorontalo yang kini adalah SMAN 1 Kota Gorontalo.
Dulunya ini adalah sekolah bergengsi yang dipimpin Meneer Yadin, guru keturunan Belanda dari Gorontalo.
Usia Ciputra saat itu 16 tahun. Ia dibantu masuk sekolah oleh tante Sioe dan Ci Loan.
Tempat tinggalnya pun berpindah, dari rumah kakek ke rumah lama orang tuanya di Siendeng—kini bersama Ci Tiem, anak tante Sioe yang dulu memperlakukannya keras.
Kali ini, Ciputra kembali bukan sebagai anak kecil, tapi sebagai remaja yang membawa cita-cita besar.
Teman sekelasnya saat itu antara lain Ileana Syarifah Uno, perempuan yang kemudian menjadi istri tokoh nasional, John Ario Katili.
Gereja, Lintasan Lari, dan Masa Depan yang Terbuka
Tahun 1950, Ciputra dibaptis di Gereja GEMIM. Bersama sejumlah keluarga Tionghoa dan para pemuda Kristen, ia membantu mendirikan gereja kecil yang kini dikenal sebagai GPIG Jemaat Bait’el Gorontalo.
Kedekatannya dengan Meneer Eizenring kepala sekolah SMP yang berkewarganegaraan Belanda, membuka banyak ruang untuk berkembang.
Percaya diri dan semangatnya tumbuh. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Manado, sempat masuk SMA Negeri, lalu pindah ke SMA Katolik Don Bosco.
Tahun 1951 menjadi titik pencapaian besar. Ciputra terpilih sebagai pelari mewakili Sulawesi Utara dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Jakarta.
Sebuah pencapaian luar biasa bagi anak kampung yang nyaris putus sekolah, pernah gagal naik kelas, dan pernah tinggal di kebun sunyi Popaya.
(*)
Mengenal Al Muzzammil Yusuf, Presiden Partai Keadilan Sejahtera |
![]() |
---|
Sosok Jenderal AL Laksamana Muda Kresno Buntoro yang Malah Dimutasi Panglima TNI ke Angkatan Darat |
![]() |
---|
Sosok Direktur Utama BNI Putrama Wahju Setyawan yang Gantikan Royke Tumilaar |
![]() |
---|
Sosok Ai Diantani, Maju Bupati Gantikan Suami Ade Sugianto yang Kemenangannya Dibatalkan MK |
![]() |
---|
Sosok Iskandar, WNI Pemilik Indonesia Airlines yang Berkantor di Singapura, Ternyata Masih Muda |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.