Berita Gorontalo
174 Perempuan dan Anak Gorontalo jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2024
Merespon itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo memperkuat langkah strategis untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak.
Penulis: Redaksi | Editor: Wawan Akuba
TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Sepanjang tahun 2024 tercatat ada sedikitnya 174 perempuan dan anak di Gorontalo menjadi korban kekerasan.
Merespon itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo memperkuat langkah strategis untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak.
Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, Sofian Ibrahim, menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya tersebut.
“Perempuan yang berdaya adalah kunci kesejahteraan keluarga dan masyarakat, sementara perlindungan anak adalah investasi untuk masa depan bangsa,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Sinergitas Perencanaan Pembangunan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Manado, Kamis (16/1/2025).
Data menunjukkan penurunan signifikan dalam berbagai indikator. Angka dispensasi pernikahan anak di Gorontalo turun dari 829 kasus pada 2023 menjadi 507 kasus pada 2024.
Selain itu, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga menurun drastis dari 387 kasus dengan 412 korban pada 2023.
Provinsi Gorontalo juga mencatat prestasi nasional dengan ditetapkannya Desa Ayula Selatan di Kabupaten Bone Bolango sebagai pilot proyek Rumah Bersama Indonesia oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Program ini menjadi ruang aman bagi perempuan dan anak.
“Ini adalah bukti bahwa langkah kolaboratif kita mulai membuahkan hasil nyata. Namun, kita harus terus bergerak lebih baik,” tegas Sofian.
Ia berharap rapat koordinasi tersebut menghasilkan rencana aksi konkret yang dapat diterapkan di seluruh kabupaten/kota di Gorontalo.
“Ini adalah awal dari langkah besar untuk masa depan perempuan dan anak di Gorontalo,” tutupnya.
Angka Dispensasi Nikah
Sepanjang tahun 2024, sebanyak 106 remaja di Kota Gorontalo mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Kelas 1A.
Fenomena ini mencuat setelah laporan resmi pengadilan menunjukkan bahwa mayoritas pengajuan tersebut diajukan oleh pasangan di bawah umur yang hamil di luar nikah.
Reza Thalib, Petugas Informasi Pengadilan Agama Gorontalo, mengungkapkan bahwa sekitar 99 persen dari pasangan tersebut mengajukan dispensasi karena kehamilan di luar nikah.
“Itu rata-rata, sebagian besar 99 persen memang hamil duluan,” ujar Reza, Kamis (19/12/2024).
Dari total 110 perkara yang diterima, 96 perkara dikabulkan, tiga perkara dinyatakan cacat formil atau Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O), tujuh perkara dicabut, dan empat perkara masih belum diputus.
Pengajuan dispensasi ini menjadi satu-satunya jalan bagi pasangan di bawah umur setelah permohonan nikah mereka ditolak oleh Kantor Urusan Agama (KUA).
Penolakan tersebut terjadi karena data calon pengantin belum memenuhi usia minimal pernikahan, yakni 19 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
“Kebanyakan yang mengajukan dispensasi ini karena usia mereka masih di bawah 19 tahun, sehingga ketika datanya diinput ke sistem aplikasi KUA, statusnya langsung terbaca merah,” tambah Reza.
Meski angkanya masih tinggi, jumlah perkara dispensasi nikah di tahun 2024 mengalami penurunan signifikan sebesar 51 perkara dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencapai 161 kasus.
Semua perkara pada 2023 tersebut telah diputuskan oleh pengadilan.
Peningkatan batas usia pernikahan dari 17 tahun menjadi 19 tahun, sebagaimana diberlakukan sejak 2019, turut memengaruhi lonjakan pengajuan dispensasi di tahun-tahun awal penerapannya.
Kasus ini menyoroti tantangan sosial yang dihadapi Gorontalo terkait edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan pernikahan dini.
Selain itu, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang perlindungan anak dan dampak psikologis terhadap pasangan yang dipaksa memasuki pernikahan di usia sangat muda.
Perlu diketahui, pernikahan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Salah satu poin penting dari peraturan ini adalah ketentuan usia minimal pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan.
Namun, aturan ini masih memberikan pengecualian berupa dispensasi nikah bagi pasangan di bawah usia tersebut, dengan prosedur dan alasan tertentu.
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun.
Sebelumnya, usia minimal untuk perempuan adalah 16 tahun, namun melalui perubahan undang-undang pada 2019, usia tersebut disamakan untuk mendorong kesetaraan dan perlindungan anak.
Jika pasangan yang ingin menikah belum memenuhi usia tersebut, maka mereka perlu mendapatkan dispensasi nikah.
Dispensasi ini hanya dapat diberikan oleh pengadilan, dengan syarat adanya alasan yang mendesak dan bukti yang cukup bahwa pernikahan perlu dilangsungkan segera.
Meski dispensasi nikah dimungkinkan, pemerintah Indonesia terus mendorong penghapusan praktik pernikahan anak melalui berbagai kebijakan dan program.
Hal ini sejalan dengan komitmen terhadap Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pernikahan anak dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak anak karena dapat berdampak negatif pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan psikologis mereka.
Oleh karena itu, proses dispensasi nikah dilakukan secara ketat untuk memastikan bahwa pernikahan adalah solusi terakhir dan benar-benar demi kebaikan semua pihak.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.