Longsor Kelurahan Botu Gorontalo

Sebagian Besar Wilayah Kelurahan Botu Gorontalo Tak Layak untuk Permukiman, Rawan Longsor

Wilayah ini memiliki kemiringan di atas 35 persen, yang menurut regulasi seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau (RTH

Penulis: Arianto Panambang | Editor: Wawan Akuba
FOTO: Herjianto Tangahu, TribunGorontalo.com
Titik koordinat longsor Kelurahan Botu, Gorontalo, dilihat menggunakan satelit. 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo -- Pengamat Tata Kota, Sri Sutarni Arifin, menyebut bahwa sebagian besar wilayah Kelurahan Botu tidak layak untuk dijadikan permukiman.

Wilayah ini memiliki kemiringan di atas 35 persen, yang menurut regulasi seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, ruang terbuka hijau (RTH), atau daerah resapan air.

Tanah di kawasan tersebut, lanjut Sri, terdiri dari jenis latosol dengan daya ikat rendah, yang sangat rentan terhadap longsor.

Selain itu, aktivitas penggalian tanah dan minimnya vegetasi semakin memperparah risiko bencana.

Penat Tata Kota Universitas Negeri Gorontalo, Sri Sutarni saat diwawancarai TribunGorontalo.com.
Penat Tata Kota Universitas Negeri Gorontalo, Sri Sutarni saat diwawancarai TribunGorontalo.com.

“Kelurahan Botu adalah salah satu contoh nyata di mana peruntukan tata ruang diabaikan, padahal, kondisi tanahnya sudah cukup rentan," tegas Sri yang juga akademisi Universitas Negeri Gorontao (UNG). 

Dengan hujan terus-menerus, daya ikat tanah yang melemah, sehingga wilayah Kelurahan Botu mudah longsor, bahkan tanpa adanya gempa bumi.

Sri mengkritik lemahnya sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Gorontalo yang direvisi pada 2019.

Menurutnya, RTRW sudah dengan jelas mengatur zona konservasi dan zona pemukiman.

Namun kata dia informasi tersebut tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.

“Masalah utama adalah minimnya edukasi kepada masyarakat tentang batasan kawasan rawan bencana," ucapnya.

Sri menginginkan pemerintah aktif menyampaikan informasi ini melalui lurah, camat, atau media lokal agar warga lebih memahami risiko di lingkungan mereka.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pembangunan di kawasan berisiko tinggi.

“Pemerintah harus memastikan tidak ada lagi pembangunan rumah baru di lereng-lereng terjal. Ini langkah mitigasi yang harus segera diambil,” tegasnya.

Untuk warga yang sudah terlanjur bermukim di kawasan rawan longsor, Sri mengimbau agar mereka meningkatkan kewaspadaan dan mempertimbangkan relokasi.

Namun, jika relokasi sulit dilakukan, langkah mitigasi seperti penanaman pohon untuk memperkuat daya ikat tanah perlu segera dilaksanakan.

“Pindah memang bukan keputusan mudah bagi masyarakat. Namun, memahami risiko dan mengambil langkah pencegahan seperti menghindari aktivitas di luar rumah saat hujan deras adalah tindakan yang sangat penting,” kata Sri.

Tragedi di Kelurahan Botu ini diharapkan menjadi pelajaran bagi pemerintah Kota Gorontalo untuk memperbaiki tata kelola permukiman dan kawasan konservasi.

Penataan ulang kawasan rawan bencana, pengawasan pembangunan, serta upaya mitigasi bencana seperti penanaman vegetasi di lereng harus menjadi prioritas demi mencegah kejadian serupa di masa depan.

“Jika tata kelola tetap diabaikan, potensi longsor akan terus meningkat dan membahayakan lebih banyak jiwa,” tutup Sri.

Rumah milik korban longsor, Megawati Kajuju (35) dan Abdurrahman Daud (35), rusak berat (17/12/2024). 

Pantauan TribunGorontalo.com,  mengalami kerusakan parah hingga sebagian besar bangunannya ambruk ke tebing.

Longsor yang terjadi di Kelurahan Botu, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, pada Selasa dini hari (17/12/2024), meninggalkan pemandangan yang memprihatinkan di lokasi kejadian. 

Berdasarkan pantauan di lapangan, rumah tersebut terletak tepat di bibir Sungai Bone, area yang diketahui rawan longsor akibat pengikisan bantaran sungai.

Bagian belakang rumah, yang menjadi lokasi utama pengikisan, runtuh sepenuhnya ke dasar tebing setinggi lima meter.

Material bangunan berupa beton, kayu, dan atap rumah tampak berhamburan di dasar tebing.

Hanya sedikit bagian rumah yang tersisa, yaitu area depan, termasuk kamar anak-anak korban.

Ketiga anak korban yang saat kejadian berada di kamar tersebut berhasil selamat.

Meski begitu, kondisi di sekitar rumah menunjukkan tingkat kerusakan yang parah, dengan perabotan rumah tangga tersebar di lokasi longsor.

Petugas telah memasang garis polisi di sekitar rumah untuk membatasi kerumunan warga yang ingin mendekati lokasi kejadian.

Langkah ini dilakukan guna menjaga keamanan dan memudahkan proses investigasi serta penanganan lebih lanjut.

Selain itu, bagian atap rumah yang berada di depan masih terlihat menggantung di bagian reruntuhan, sementara atap di sisi belakang rumah ambruk sepenuhnya.

Warga sekitar turut prihatin melihat kondisi rumah korban yang kini tak lagi layak huni.

Longsor ini terjadi akibat intensitas hujan tinggi yang mengguyur Kota Gorontalo sejak sore hari sebelumnya. (*)

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved