Sejarah Desa di Gorontalo

Desa Kopi di Bone Bolango Gorontalo Rupanya Tak Pernah Ditanami Kopi

Namun, pada tahun 2004, Desa Kopi dan Bindena memutuskan memisahkan diri dari Desa Tupa karena jarak antarwilayah yang jauh, dipisahkan oleh sungai.

Penulis: Jefry Potabuga | Editor: Wawan Akuba
FOTO: Jefri Potabuga, TribunGorontalo.com.
Landscape Desa Kopi, Bone Bolango, Gorontalo. Desa menyimpan cerita dan sejarah. 

TRIBUNGORONTALO.COM, Bone BolangoNama Desa Kopi di Kecamatan Bulango Utara, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, memang terdengar unik.

Namun, siapa sangka nama ini tidak ada kaitannya dengan tanaman kopi.

Di balik namanya yang khas, Desa Kopi menyimpan sejarah panjang, kisah perjuangan pemekaran, dan legenda yang menarik untuk ditelusuri.

Desa Kopi awalnya merupakan bagian dari Desa Tupa, bersama dusun Bindena. 

Namun, pada tahun 2004, Desa Kopi dan Bindena memutuskan memisahkan diri dari Desa Tupa karena jarak antarwilayah yang jauh, dipisahkan oleh sungai.

Pemekaran ini bertepatan dengan setahun setelah Kabupaten Bone Bolango resmi berdiri, terpisah dari Kabupaten Gorontalo pada 16 Mei 2003.

Kedua dusun kemudian membentuk Desa Tuloa. Nama Tuloa sendiri diambil dari kata dalam bahasa Gorontalo yang berarti "pertukaran," merujuk pada sejarah tempat ini sebagai lokasi transit kuda, alat transportasi utama masyarakat pada masa itu.

Namun, pada 2007, Desa Kopi memilih untuk berpisah dari Desa Tuloa dan berdiri sendiri sebagai desa mandiri.

"Waktu itu kami menghadap Pak Bupati Ismet Mile untuk meminta pemekaran," kenang Yadi Akuba, salah satu tokoh masyarakat, Jumat (15/11/2024).

Proses pemekaran tidak berjalan mulus. Desa Kopi, yang hanya terdiri dari tiga dusun dan dihuni kurang dari 400 kepala keluarga, sempat dianggap belum layak menjadi desa mandiri.

Namun, dengan tekad warga, pemekaran ini akhirnya disetujui.

Setelah pemekaran, tantangan besar pertama adalah memilih pemimpin.

Banyak warga enggan mencalonkan diri hingga akhirnya almarhum Arifin Dhani bersedia menjadi kepala desa pertama.

Sayangnya, ia meninggal dunia tak lama setelah menjabat.

Posisi kepala desa kemudian diteruskan oleh Ali Yusuf, diikuti oleh Kimin Daud yang memimpin selama dua periode.

Sebagai desa kecil yang baru berdiri, Desa Kopi menghadapi banyak keterbatasan.

Hingga 2010, listrik hanya tersedia melalui genset bantuan pemerintah, dengan jam operasional terbatas dari pukul 17.30 hingga 22.00 WITA.

Ketika akhirnya listrik PLN masuk, suasana desa pun berubah total.

"Warga bersorak gembira ketika listrik PLN pertama kali menyala," ujar salah satu warga.

Akses jalan juga menjadi persoalan serius. Kondisi jalan yang rusak parah membuat kendaraan enggan masuk desa.

Baru pada November-Desember 2026, pemerintah mengaspal jalan utama Desa Kopi, memberikan kemudahan mobilitas bagi warga.

Nama Desa Kopi dan Kisah Mistis di Baliknya

Meski namanya identik dengan tanaman kopi, Desa Kopi ternyata tidak pernah memiliki kebun kopi.

Asal-usul nama ini diliputi cerita mistis yang enggan diungkapkan oleh tokoh masyarakat setempat.

"Ceritanya tidak baik untuk konsumsi publik," ungkap salah seorang tokoh desa.

Namun, nama ini tetap melekat dan menjadi simbol perjuangan warga untuk bertahan hingga kini.

Desa Kopi juga menyimpan cerita legenda. Di desa ini terdapat makam Aulia Ayipulu, seorang tokoh yang dianggap sebagai wali oleh masyarakat.

Ayipulu disebut-sebut pernah bertarung dengan Raja Panipi Batudaa, seorang raja besar yang terkenal pada masanya.

Legenda menyebutkan Ayipulu berhasil mengalahkan raja tersebut, yang membuatnya diasingkan demi mencegah konflik berkepanjangan.

Selain itu, Desa Kopi memiliki tempat bersejarah bernama Puncak Lundu, atau Lunggongo lo Gola, yang berarti "kepala penculik."

Tempat ini menjadi lokasi strategis di masa lalu, di mana warga berkumpul untuk melindungi desa dari ancaman penculik anak-anak.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved