Identitas Pelaku dalam Kasus Dugaan Jual Beli Ijazah di Universitas Gorontalo, Kini Dipecat

Polisi kini mengantongi dua nama yang diduga menjalankan praktik jual beli ijazah di Universitas Gorontalo tersebut. 

Penulis: Ahmad Rajiv Agung Panto |
TribunGorontalo.com/AgungPAnto
Konferensi Pers Dewan Pengawas Universitas Gorontalo, Kamis (9/2/2023). 

TRIBUNGORONTALO.COM, Gorontalo - Dugaan jual beli ijazah di Universitas Gorontalo (UG) menyeret dua nama pejabat setempat. 

Polisi kini mengantongi dua nama yang diduga menjalankan praktik jual beli ijazah di Universitas Gorontalo tersebut. 

Dua nama dalam dugaan kasus  jual beli ijazah di Universitas Gorontalo dilaporkan korban berprofesi polisi. 

Pejabat itu adalah MB, disebut sebagai kepala program studi (kaprodi) di Universitas Gorontalo

Sementara BIN, adalah staf keuangan. Ia bukanlah tenaga pendidik, namun perannya mengumpulkan dana dari para mahasiswa. 

“Terkonfirmasi ternyata bukan hanya berkisar di dua orang ini ada satu lagi yang terindikasi yaitu mantan rektor UG berinisial IA,” ungkap Ikbal Kadir kuasa hukum korban saat konferensi pers di Polresta Gorontalo Kota, Senin (6/2/2023) lalu. 

Ikbal ditunjuk sebagai kuasa hukum kasus ini bersama Ali Rajab. Korban merupakan anggota polisi berpangkat AIPDA. 

Sebelumnya sudah dilakukan mediasi dengan pihak kampus terkait masalah ini. 

Rupanya mediasi terjadi tanpa kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak. Tidak terjadi kesepakatan yang diminta. 

Karena itu, korban lalu melapor ke Polresta Gorontalo Kota pada Senin kemarin. 

Kasat Reskrim Polresta Gorontalo Kota Kompol Leonardo Widharta mengungkapkan akan menindaklanjuti kasus tersebut, dan akan melakukan penyelidikan. 

"Kami nantinya akan melakukan pemanggilan sesuai prosedur terhadap pihak-pihak yang disebutkan dalam laporan tersebut,” kata dia.

Sementara Rektor Universitas Gorontalo Sofyan Abdullah saat dikonfirmasi menyebut, jika penipuan ini adalah perbuatan oknum.

Kampus kata dia secara lembaga tidak terlibat dalam praktik semacam itu. Apalagi, kampus tidak menerima dana yang dibayarkan oleh korban kepada pihak kampus.

Menurutnya, mahasiswa yang dirugikan tidak menyetor sesuai dengan prosedur dan tidak terdaftar di bagian keuangan.

Sebab kata dia, apabila  mahasiswa yang kuliah mengikuti prosedur yang ada sampai dengan selesai, maka dia pun akan memperoleh ijazah ataupun gelar.

“Untuk mendapatkan ijazah itu ada prosesnya, harus terdaftar dulu, mengikuti proses perkuliahan dan harus menyelesaikan 146 SKS yang paling cepat itu ditempuh dalam waktu 3,5 tahun,” ujarnya.

Kata dia, korban memang terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Gorontalo, namun dalam beberapa semester sudah tidak melakukan perkuliahan serta pembayaran.

“Kami sudah cek melalui Kaprodi, dan dia hanya terdaftar satu semester selebihnya tidak aktif, dan pembayaranya tidak ada,” tutup Rektor Universitas Gorontalo.

Kasus ini sebetulnya menyangkut dugaan jual beli ijazah. Sebab, korban ditawari ijazah tanpa harus mengikuti perkuliahan. 

Polisi itu pun setuju, namun harus membayar. Akumulasi dana yang ia keluarkan mencapai Rp 48 juta.

Siang tadi, Kamis (9/2/2023) Dewan Pengawas Universitas Gorontalo melakukan konferensi pers terkait dugaan jual beli ijazah itu. 

Ketua Dewan Pembina Universitas Gorontalo, Rustam Akili mengaku pihaknya sudah mencopot oknum dosen berinisial MB tersebut.

Meski begitu, pencopotan itu dilakukan jauh sebelum kasus dugaan  jual beli ijazah di Universitas Gorontalo mencuat ke publik. 

“Jauh sebelum dilaporkan masalah ini, saya juga telah mencopot kaprodi walaupun belum terbukti dirinya juga terlibat dalam permasalahan ini,” kata Rustam.

Tidak cuma mencopot, pihaknya juga menghukum oknum dosen itu.

MB tidak bisa menggunakan hak-haknya sebagai dosen hingga persoalan itu selesai. 

”MB telah kami berikan sanksi walau kesannya telah mendahului proses hukum yang saat ini sementara berlangsung,” tambahnya.

Kata Rustam, hal tersebut merupakan tidak tegas yang dilakukan oleh pihak kampus, agar tidak ada yang coba menyimpang aturan. 

Sebelumnya, seorang anggota polisi Gorontalo berpangkat AIPDA, melaporkan dua oknum pejabat Universitas Gorontalo – satu di antaranya dosen– kepada SPKT Polresta Gorontalo Kota. 

Polisi itu didampingi pengacaranya, Ali Rajab mendatangi SPKT pada Senin sore (6/2/2023) kemarin. 

Ia melaporkan oknum pejabat kampus yang telah memerasnya hingga puluhan juta. 

Kronologi

Polisi ini diketahui menjadi mahasiswa Universitas Gorontalo sejak 2017. 

Saat itu kampus berjuluk “kampus perjuangan” itu membuat membuat semacam nota kesepahaman dengan Polresta. 

Nota kesepahaman itu intinya mendukung peningkatan sumber daya manusia (SDM) kepolisian dengan perkuliahan. 

Karena itu, masuklah para polisi di polres ini ke Fakultas Hukum Universitas Gorontalo

Angkatan pelapor ini menurut Ali Rajab, berjumlah 70 orang. Tidak semuanya polisi, namun sebagian besar. 

Artinya, bisa mencapai 80 persen dari 70 angkatan mahasiswa non reguler itu tercatat sebagai mahasiswa saat itu. 

Sejalan dengan waktu, dua oknum pejabat kampus ini, mengiming-imingi para mahasiswa, satu di antaranya pelapor, dengan mendapatkan ijazah tanpa harus mengikuti perkuliahan. 

Namun tidak gratis. Kebijakan ‘nakal’ itu dilakukan di luar prosedur kampus, dan para polisi ini nyatanya mengeluarkan uang mulai dari Rp 4 juta rupiah. 

Polisi yang jadi pelapor ini pun tergiur. Ia memberi dua oknum dosen itu sejumlah uang, hingga jika diakumulasi mencapai Rp 48 juta. 

Katanya, uang sebanyak itu menjamin dirinya untuk bisa diwisuda di antara 2021 dan 2022. 

Tidak sesuai realita, uang dibawa kabur, sementara ijazah dan wisuda tak kunjung dijadwalkan. 

Ketika dicek status kemahasiswaanya, rupanya ia tidak terdaftar sebagai mahasiswa aktif, dan hanya tercatat satu semester mengikuti perkuliahan. 

Polisi ini pun merasa ditipu. Ia meminta mediasi dengan pihak kampus. Berharap uangnya dikembalikan atau jika tidak, janji yang diberikan bisa dipenuhi. 

Kampus Universitas Gorontalo yang kini dipimpin Sofyan pun, menolak mentah-mentah dua pilihan itu. 

Secara administrasi, menurut Sofyan, polisi itu harus menyelesaikan sejumlah mata kuliah, paling tidak sesuai standar untuk mendapatkan gelar sarjana. 

Sofyan mengakui, kampus tidak pernah menerima sejumlah uang yang disebutkan. Jika polisi itu menuntut, maka artinya itu perbuatan oknum, dan kampus tidak bisa tanggung jawab. 

Karena status kemahasiswaannya tidak selesai. Meminta ijazah dengan membayar tanpa kuliah, tidak berlaku secara resmi di kampus kuning itu. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved