Piala Dunia 2022

Piala Dunia 2022: Panggung Ketidak-pastian

Al Rihla, bola resmi Piala Dunia 2022, telah mulai bergulir usai upacara pembukaan di Qatar.

Editor: Lodie Tombeg
AFP/Kirill KUDRYAVTSEV
Pemandangan menunjukkan Stadion Lusail di Lusail pada 5 November 2022, menjelang turnamen sepak bola Piala Dunia FIFA Qatar 2022. Al Rihla, bola resmi Piala Dunia 2022, telah mulai bergulir usai upacara pembukaan di Qatar. 

Oleh Willy Kumurur, penikmat bola

TRIBUNGORONTALO.COM - Al Rihla, bola resmi Piala Dunia 2022, telah mulai bergulir usai upacara pembukaan di Qatar.

Nama bola itu dalam bahasa Arab adalah perjalanan, akan menjadi saksi bisu dari perjalanan nasib negara-negara yang berpartisipasi dalam perhelatan akbar di negeri yang berpendapatan perkapita 1,7 miliar rupiah dan yang mempunyai Indeks Pembangunan Manusia sangat tinggi, yaitu 0,848.

Delapan stadion megah di negeri bekas protektorat Inggris (1916-1970), menjadi pentas teater dunia dalam mana Al Rihla akan ditendang oleh 352 pesepakbola dari 32 negara, ditambah 480 pemain cadangan.

Sepakbola adalah teater dunia, ujar Horst Bredekamp, sejarawan seni bangsa Jerman.

Penulis Austria, Egyd Gstättner, menulis, “Bagi pemain bola, sepakbola adalah olahraga (dan pekerjaan serta bisnis), namun bagi yang bukan pemain, sepakbola adalah seni, seni hidup.”

Seolah mendukung pendapat Gstättner, penyanyi regae Bob Marley, mengatakan bahwa sepak bola adalah kebebasan, bola adalah seluruh alam semesta.

Di teater dunia itu akan muncul bintang-bintang muda yang kelak menggantikan pemain-pemain senior yang bintangnya mulai meredup.

Para punggawa bola kini tengah memperebutkan Al Rihla di gelanggang.

Mereka berlari dan berlari. Apakah yang mereka cari? Kemenangan? Apakah yang manusia cari? Filsuf Plato menjawabnya di dalam bukunya Symposion, Intisari dari manusia adalah pencarian, ujarnya.

Manusia adalah mahluk yang terus-menerus mencari, tanpa pernah menemukan apa yang dicarinya. Ia memperoleh, tanpa pernah memiliki.

Menurut Plato, manusia mesti bangga, dan mesti merayakannya, sebab inilah kekuatan manusia yang membedakan dengan para dewa. Sikap ini juga adalah tanda kerendahan hati.

Orang yang terus mencari berarti akan terus belajar. Ia takkan pernah puas atas hal-hal yang ia ketahui.

Dorongan untuk terus mencari ini, ujar Plato, adalah juga dorongan untuk tiba pada keabadian.

Dan keabadian itu, terefleksi melalui karya dan karsa manusia, meski usianya di dunia ini terbatas, tak abadi. Namun Friedrich Nietzsche berpendapat lain.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved