Peristiwa Langit Juni 2022 di Indonesia: Supermoon hingga Solstis

Fenomena langit pada bulan Juni 2022. Pada bulan Juni 2022, terdapat beberapa fenomena langit yang terjadi.

Editor: Lodie Tombeg
Istimewa
Fenomena Supermoon. Berikut fenomena langit pada bulan Juni 2022, mulai dari Supermoon hingga Solstis. 

TRIBUNGORONTALO.COM - Fenomena langit pada bulan Juni 2022. Pada bulan Juni 2022, terdapat beberapa fenomena langit yang terjadi.

Beberapa fenomena yang terjadi pada bulan Juni 2022 di antaranya, Asteroid 29 Amphitrite, Konjungsi Venus-Uranus, Supermoon, Konjungsi Bulan-Saturnus.

Juga terjadi Konjungsi Bulan-Jupiter, Solstis, Konjungsi Bulan-Neputunus, serta Okultasi Uranus oleh Bulan dan Bulan Sabit Termuda.

1. Asteroid 29 Amphitrite di Oposisi, 6 Juni

Paruh pertama bulan Juni diakui sangat tenang dari perspektif astronomi, dikutip dari spacetourismguide.com:

Pada malam tanggal 6 Juni, asteroid 29 Amphitrite akan berada pada posisi berlawanan dan diterangi dengan baik oleh Matahari di sisi Bumi yang berlawanan.

Asteroid besar ini adalah yang terbesar kelima di sabuk asteroid utama, dan membentang dengan diameter sekitar 125 mil (200 km).

Untuk melihat objek tata surya ini, gunakan aplikasi pencari bintang dan lihat di konstelasi Scorpius.

2. Konjungsi Venus-Uranus, 12 Juni

Fenomena langit kedua yang dapat dilihat pada bulan Juni adalah konjungsi antara dua planet Venus dan Uranus.

Sementara itu, fenomena ini dapat dilihat pada 12 juni dan harus menggunakan alat bantu.

Menurut Astronom Amatir Indonesia, Marufin Sudibyo, konjungsi kedua planet ini merupakan peristiwa seakan berkumpulnya plant Venus dan planet Uranus dalam satu lokasi yang sama jika dilihat dari Bumi.

“Keduanya akan nampak dalam satu garis lurus,” kata Marufin kepada Kompas.com.

3. Bulan Purnama Super (Supermoon), 14-15 Juni

Bulan Purnama Super atau biasa disebut dengan Bulan Purnama Periege merupakan fase bulan yang terjadi beriringan dengan ketika Bulan berada di titik terdekatnya dari Bumi, dikutip dari lapan.go.id:

Bulan Purnama Super terjadi setahun sekali pada setiap tahunnya.

Mengutip dari Edusainsa.brin.go.id, Puncak Bulan Purnama Super terjadi pada 14 Juni 2022 pukul 18.51.35 WIB/19.51.35 WITA/20.51.35 WIT dengan jarak 357.658 km.

Sementara itu, Bulan Purnama Super dapat disaksikan dari arah Tenggara hingga Barat Daya sebelum Matahari terbenam hingga setelah Matahari terbit.

4. Konjungsi Bulan-Saturnus, 18 Juni

Pada bulan Juni, Saturnus adalah planet pertama yang "bertemu" dengan Bulan di langit malam.

Pada pagi hari tanggal 18 Juni, Anda dapat melihat Bulan dan Saturnus di bagian langit yang sama, tampak terpisah 4°16′ pada jarak terdekatnya.

Jarak ini akan terlalu jauh untuk dilihat dengan teleskop atau teropong.

Namun, Anda akan dapat melihat dari 72 % Bulan yang memudar ke Saturnus.

5. Konjungsi Bulan-Jupiter, 21 Juni

Jupiter adalah planet berikutnya yang memiliki pendekatan visual dekat dengan Bulan pada bulan Juni, tepatnya pada 21 Juni.

Anda dapat melihat keduanya saling berdekatan di langit dan melewati jarak 2°44′ pada jarak terdekatnya.

Bulan akan berada dalam fase sabit memudar yang lebih menguntungkan daripada saat Saturnus berada di dekatnya.

Sehingga fenomena ini dapat disaksikan ketika pagi hari dengan langit yang cerah.

6. Solstis, 21 Juni

Pada 21 Juni menandai hari terpanjang dalam setahun di atas khatulistiwa di belahan bumi utara, biasa disebut “titik balik matahari musim panas.”

Titik balik matahari adalah hari astronomi yang penting, karena menandai pergantian musim dan langkah lain kita mengelilingi matahari.

Fenomena ini dapat disaksikan pada Selasa, 21 Juni 2022 pukul 16.13 WIB.

7. Konjungsi Bulan-Neputunus, 21 Juni

Pada 21 Juni merupakan waktu terbaik untuk menyaksikan planet Neptunus di langit, dikutip dari Kompas.com.

Hal tersebut karena planet Neptunus akan berada di garis lurus dengan bulan pada saat peristiwa ini terjadi.

Namun, untuk menyaksikan fenomena ini harus menggunakan alat bantu.

7. Okultasi Uranus oleh Bulan, 25 Juni

Okultasi merupakan peristiwa terhalangnya benda lagit yang tampak lebih kecil oleh benda langit lain yang tampak lebih besar juka diamati dari Bumi, dikutip dari lapan.go.id.

Hal tersebut karena konfigurasi ketiga benra langit mebentuk garis lurus jika diamati dari pengamatan tata surya.

Di Indonesia, Bulan berfase Sabit Akhir dengan iluminasi antara 15,3 % -15,1 % ketika mengokultasi Uranus.

Waktu dan wilayah untuk menyaksikan fenomena ini di Indonesia:

- Ketika Fajar sebelum Matahari terbit: Jawa, Bali, NTB, NTT sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Sulawesi , Maluku Utara dan Maluku.

- Ketike Fajar sebelum Matahari terbit hingga Matahari terbit: Provinsi Papua Barat dan Papua.

Adapun fonemena ini hanya dapat disaksikan menggunakan alat bantu.

8. Bulan Sabit Termuda (Hilal), 29 Juni

Bulan sabit termuda pada 29 Juni, merupakan hilal yang menjadi penentu bagi awal bulan kalender Zulhijjah (bulan ke-12) dalam kalender 1443 Hijriyyah.

Di Indonesia diperhitungkan setinggi positif 1,1º hingga positif 3,3 pada saat Matahari terbenam.

Sehingga diprakirakan masih ada di atas cakrawala barat pada saat Matahari terbenam.

Nantinya, BMKG dan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan mengamati fenomena ini.

Hal tersebut sebagai program rutin yang menjadi bagian timekeeping kalender (mengomparasi jalannya kalender dengan fenomena langit acuan).

Hasil dari pengamatan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam sidang isbat penentuan Idul Adha 1443 H.

Penemuan Planet Mirip Bumi Berjarak 50 Tahun Cahaya

Planet berbatu dengan detail yang belum pernah terjadi sebelumnya ditemukan oleh teleskop luar angkasa James Webb.

Planet aneh ini diduga memiliki kesamaan dengan bumi dan terus dipelajari dari teleskop tersebut.

Target studi teleskop ini adalah dua 'Bumi Super', exoplanet mirip Bumi. Konsorsium ilmiah teleskop memiliki agenda mempelajari geologi di planet-planet kecil tersebut, dengan jarak dari 50 tahun cahaya.

Menurut para ilmuwan, seperti dikutip dari Space, Kamis (2/6/2022) pekerjaan baru ini akan menjadi sesuatu yang besar bagi observatorium, yang akan keluar dari commissioning dalam beberapa minggu ke depan.

Planet berbatu lebih sulit dilihat dibandingkan gas raksasa dalam teknologi teleskop saat ini.

Hal tersebut dikarenakan kecerahan relatif planet yang lebih kecil di sebelah bintang dan ukurannya yang relatif kecil.

Namun, cermin kuat teleskop James Webb dan lokasi luar angkasa seharusnya memungkinkannya untuk memeriksa dua planet yang sedikit lebih besar dari Bumi, yang dikenal sebagai "Bumi Super."

Seperti diketahui, tak satu pun dari dunia ini yang dapat dihuni, tapi pembuktiannya masih bisa dilakukan dengan penyelidikan untuk studi mendalam di masa depan.

Dua planet mirip Bumi di luar Tata Surya yang disorot dalam penelitian yang akan dilakukan Teleskop Luar Angkasa James Webb ini termasuk 55 Cancri e yang sangat panas dan tertutup lava serta LHS 3844 b yang tidak memiliki atmosfer substansial.

Sebagai informasi, 55 Cancri e mengorbit bintang induknya pada jarak 1,5 juta mil (2,4 juta km), sekitar empat persen dari jarak relatif antara Merkurius dan matahari.

Exoplanet ini hanya mengelilingi bintangnya sekali setiap 18 jam, dengan suhu permukaan tanur tinggi di atas titik leleh pada sebagian besar jenis batuan.

Para ilmuwan juga berasumsi bahwa planet ini terkunci secara pasang surut ke bintang, yang berarti satu sisinya menghadap matahari yang terik, meskipun pengamatan dari Teleskop Luar Angkasa Spitzer NASA menunjukkan zona terpanas mungkin sedikit diimbangi.

Peneliti menambahkan, panas yang diimbangi mungkin dikarenakan atmosfer tebal yang dapat memindahkan panas di sekitar planet 'Bumi Super' yang akan diamati teleskop James Webb ini, atau karena hujan lahar di malam hari dalam proses yang menghilangkan panas dari atmosfer.

Sebagai informasi, lava malam hari juga menunjukkan siklus siang-malam, yang mungkin disebabkan oleh resonansi 3:2, atau tiga rotasi untuk setiap dua orbit, seperti yang terlihat di Merkurius.

Dua tim akan menguji hipotesis ini, dengan satu tim yang dipimpin oleh ilmuwan peneliti Renyu Hu dari Jet Propulsion Laboratory NASA akan memeriksa emisi termal planet untuk tanda-tanda atmosfer.

Sedangkan tim kedua yang dipimpin seorang profesor dari Universitas Stockholm oleh Alexis Brandeker, akan mengukur panas pancaran dari sisi menyala 55 Cancri e.

Adapun LHS 3844 b merupakan pengorbit dekat, bergerak mengelilingi bintang induknya hanya sekali setiap 11 jam.

Namun, bintangnya lebih kecil dan lebih dingin daripada 55 Cancri e, sehingga permukaan planet kemungkinan jauh lebih dingin, dan pengamatan Spitzer menunjukkan kemungkinan tidak ada atmosfer substansial di planet ini.

Sebuah tim yang dipimpin oleh astronom Laura Kreidberg di Institut Astronomi Max Planck berharap dapat menangkap sinyal permukaan menggunakan spektroskopi, di mana panjang gelombang cahaya yang berbeda menunjukkan elemen yang berbeda.

Spektrum emisi termal sisi siang hari planet akan dibandingkan dengan batuan yang dikenal seperti basal dan granit, untuk melihat apakah mereka dapat menyimpulkan komposisi permukaan.

Kedua investigasi akan memberikan perspektif baru yang fantastis mengenai planet mirip Bumi, membantu mempelajari seperti apa Bumi awal saat masih panas.

Saat ini, teleskop James Webb bekerja melalui prosedur komisioning tahap terakhir seperti melacak target di tata surya untuk menguji kekuatan cermin dan penyelarasan instrumennya. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Fenomena Langit Bulan Juni 2022 di Indonesia: Ada Supermoon hingga Solstis

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved